Pada gelaran Festival Dawai Nusantara #3 ini, kebhinekaan terwujud dari berkumpulnya berbagai alat musik dawai yang melahirkan satu bunyi.
Merdeka.com, Malang - Perjumpaan dari bunyi berbagai alat musik dawai di Nusantara akhirnya kembali terjadi pada Festival Dawai Nusantara #3. Pada acara yang digelar di Gedung Kesenian Gajayana Kota Malang, Jumat (20/10) ini, terdapat 13 penampil dari seluruh Nusantara yang menghadirkan bunyi-bunyian dari berbagai alat musik berdawai.
Mengusung tema “Merajut Kebhinekaan dengan bebunyian Dawai Nusantara”, festival ini kembali menghadirkan keindahan dari bebunyian khas alat musik dawai. Acara ini sendiri tidak sebatas hanya pertunjukkan musik saja namun juga terdapat workshop yang digelar di sore harinya.
Pada sore hari, ratusan siswa SMP dan SMA dari Kota Malang mengikuti workshop dawai. Terdapat tiga penampil yang memberikan workshop pada sore ini yaitu Syech Razie, Gregorius Argo, dan Ganzer Lana yang mengenalkan pada para siswa tersebut tentang berbagai alat musik dawai.
Redy Eko Prastyo, penggagas dari festival ini menjelaskan sedikit mengenai hubungan antara tema kebhinekaan dengan alat musik dawai ini. Menurutnya, seperti sebuah kebhinekaan, untuk mencapai harmoni, dawai juga tidak boleh terlalu kencang atau terlalu kendor.
"Seperti sebuah kebhinekaan, dawai tak boleh terlalu kencang atau kendor agar harmoni agar melahirkan harmoni," jelasnya.
Pada pembukaan festival tersebut, terdapat juga penyerahan Dawai Malangan pada Wali Kota Malang, H. Mochammad Anton. Menariknya, Dawai Malangan ini sendiri dibuat dan direkonstruksi dari sebuah relief yang terdapat di Candi Jago, Tumpang.
Kegiatan Festival Dawai Nusantara #3 yang bekerjasama dengan Disbudpar Kota Malang serta Malang Creative Fusion ini juga mendapat sambutan dari Abah Anton. Dia berharap bahwa kegiatan ini dapat berlangsung kembali untuk selanjutnya.
"Musik itu bahasa universal. Karenanya dengan musik akan bisa menyatukan ragam perbedaan. Ragam alat musik hingga seni menampilkan juga menjadi khasanah budaya tersendiri, maka acara ini harus mampu digelar secara berkelanjutan," jelas Abah Anton.
Pertunjukkan malam itu diawali oleh kelompok Unen-unen Rengel dari Tuban. Kelompok ini memainkan musik dengan berbagai alat musik yang terbuat dari bambu. Nuansa yang dihadirkan oleh kelompok ini cukup magis
Setelah suasana dengan nuansa alam Jawa yang kental, penampil selanjutnya memainkan musik khas Timur Tengah. Syech Razie tampil memainkan tiga komposisi yang masing-masing menceritakan kebahagiaan, religiusitas, serta cinta dalam liukan musik khas jazirah Arab.
Setelah musik gambus yang kental dengan nuansa Arabian dari Syech Razie, Mustafa Daood memainkan musik gambus dengan irama yang cukup khas Nusantara. Penampilan dari musik Sufi Nusantara ini juga diiringi oleh hadirnya tarian Darwis berputar.
Suasana semakin hangat saat Aziz Franklin naik ke atas panggung. Pada penampilan awalnya, dia memadukan antara bebunyian dari Sapek dengan cerita dongeng mengenai metamorfosis kupu-kupu. Pada komposisi selanjutnya yang memainkan lagu-lagiu dari berbagai daerah di Nusantara, penonton turut larut dan ikut menyanyi.
Pada malam tersebut, berbagai alat musik dawai berjumpa dalam satu bunyi dan melahirkan berbagai suara keindahan. Berbagai alat musik dawai dari berbagi penjuru Nusantara bertemu dan berkolaborasi dalam satu suara. Hal tersebut terwujud pada puncak penampilan yang berisi kolaborasi dari sebagian penampil yang ada pada malam tersebut.