1. MALANG
  2. GAYA HIDUP

Tirakat Ferry Sugeng Santoso untuk sebuah batik mahakarya

Ferry Sugeng Santoso, pemangku padepokan Alam Batik mengaku harus melakukan lelaku puasa dan tidak tidur untuk karya master piece.

©2017 Merdeka.com Editor : Rizky Wahyu Permana | Contributor : Darmadi Sasongko | Selasa, 17 Oktober 2017 18:19

Merdeka.com, Malang - Bukan sekadar goresan canting, batik mahakarya Ferry Sugeng Santoso dibuat melalui sebuah proses tirakatan. Pria gandrong pemangku padepokan Alam Batik itu harus lelaku puasa dan tidak tidur untuk karya master piece.

"Ada sistem tirakatannya. Prosesnya satu tahun baru selesai. Pengerjaannya juga tidak terus menerus," kata Ferry yang juga dikenal dengan nama Ki Joko saat ditemui di stan batiknya di Pusat Pelatihan Kewirausahaan (PPK) Sampoerna Expo di Taman Krida Budaya Malang, Minggu (15/10).

Kata Ferry, karya batiknya memiliki tiga pendekatan yakni fashion, karya seni dan fiilosopi. Khusus karya philosopi harus melalui proses lelaku panjang yang menjadi komunikasi antara sebuah karya dan batinnya.

Jika selembar kain batik bisa diselesaikan dalam hitungan mingguan, karya master piece 'Ki Joko' butuh waktu berbulan-bulan, bahkan lebih dari satu tahun. Motif yang terkadang bisa diselesaikan keroyokan, khusus batik philosopi harus diselesaikan sendiri. 

"Khusus batik philosopi tidak bisa dikerjakan cepat, karena harus melalui proses-proses ritual tertentu," kata Ferry yang menolak bercerita tentang ritualnya tersebut. 

Ferry menunjukkan karya master piecenya yang diberi nama motif 'Kasampurnan'. Batik dengan warna lembut dan kebiruan itu bercorak kupu-kupu dengan bunga kenanga berada di sela-selanya. 

"Orang bilang Kasampurnan yang dilihat langsung kupu-kupunya. Padahal kupu-kupunya menjadi efek, perjalanan kesempurnaan itu justru di belakangnya, yakni bunga Kenangan," katanya menjelaskan.

Ferry Sugeng Santoso
© 2017 merdeka.com/Darmadi Sasongko

 

"Kenanga sendiri dari kata 'Keneng 'a' yang berarti mengingat. Apa yang diingat? Ajaran para leluhur sehingga kita menuju sempurna. Sempurna bukan hanya lahirnya, tetapi juga baginya," tambahnya menguraikan.

Karya batik 'Kasampurnan' yang dipajang di set utama itu ditawarkan dengan harga Rp 35 Juta. Karya 'Kasampurnan' telah terjual sebanyak 4 lembar dengan harga kisaran antara Rp 35 Juta sampai Rp 45 juta. 

Keempat karya Kasampurnan itu di antaranya menjadi koleksi Kementerian Pariwisata di Jakarta, Litbang LIPI Pusat, Anggota Dewan (DPR RI) dan di Serang pembeli di Singapura. 

Ferry juga menjajakan batik-batik dengan harga kisaran antara Rp 250 ribu sampai Rp 10 Juta. Tidak dipungkiri, justru batik fashion lebih banyak diminati hingga mengantarkan pendapatan Rp 100 juta sampai Rp 150 juta per bulan.

"Saya juga baru saja menyediakan untuk artis Malaysia Kavita Kaur," tegasnya.
Keunikan batik Ferry terletak pada pewarnaannya yang menggunakan batang dan daun Matoa. Lewat daun tanaman Matoa melalui proses tertentu menghasilkan warna kuning, gold, sampai hitam. 

Semua produk batiknya menggunakan pewarna alam dari Matoa. Motif batik yang dihasilkan di antaranya daun Dilem, bunga Krisan, dan bunga Padma (teratai). 

Pria kelahiran Pasuruan, 13 April 1980 itu mengaku mulai menggeluti dunia batik sejak 2005. Lewat sangar Alam Batik di Dusun Pajaran Nomor 99, Desa Gunting, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Pasuruan, ayah tiga anak itu juga mengajarkan seni batik kepada khalayak. Ia mengajarkan batik kepada siapapun, dan beberapa kali keliling Indonesia untuk menyebarkan ilmunya.

Ayah tiga anak itu juga menjalin kerja sama dengan pemerintah Korea Selatan untuk kontrak 5 tahun. Jalinan kerja sama dalam bidang budaya di mana masing-masing setiap tahun saling mengunjungi. 

Ferry sendiri menjadi salah satu UKM binaan PPK Sampoerna. Ia bergabung bersama 71 UKM lain selama dua hari turut serta dalam PPK Sampoerna Expo yang mengangkat tema Kita Mau Kita Bisa.

PILIHAN EDITOR

(RWP) Laporan: Darmadi Sasongko
  1. Bisnis
  2. Seni
  3. Kota Malang
  4. UMKM
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA