Mahfud MD menyebut bahwa dia tak pernah membayangkan dia bakal mengalami semua yang dia jalani hingga saat ini.
Merdeka.com, Malang - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menceritakan perjalanan hidupnya di hadapan para mahasiswa baru Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Sekian posisi dan profesi sudah disandang sebagai pertanda sukses mewujudkan cita-cita hidupnya.
Cita-cita hidup Mahfud MD selalu dinamis setiap waktu, dari sekadar ingin menjadi guru agama hingga kemudian menjadi seorang hakim. Anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) itu pernah mengabdikan diri hidupnya menjadi guru agama, hakim, anggota DPR, dosen dan menteri. Ia juga pernah menolak sejumlah jabatan bergengsi yang pernah ditawarkan.
"Semua yang saya cita-citakan itu sudah saya lewati semua. Saya jadi dosen, hari ini saya ceramah di sini lebih karena saya sebagai dosen. Saya dosen, guru, saya guru besar. Guru agama juga ya, saya sering ceramah di masjid-masjid. Saya jadi hakim, jadi menteri pernah, jadi DPR pernah, cuma kemarin gagal jadi calon Wakil Presiden," kisah Mahfud MD disambut tepuk tangan di Dome Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Senin (3/9).
Mahfud menceritakan tentang kehidupannya semasa kecil di sebuah desa di Madura. Sama sekali tidak pernah terbayang akan menduduki posisi sebagai seorang pejabat negara.
"Pokoknya saya sekolah di situ masuk pondok pesantren. Saya sekolah, pagi di SD, sorenya di madrasah, malam di pondok pesantren nginep," katanya.
Mahfud yang anak seorang pegawai negeri di sebuah kecamatan awalnya bercita-cita menjadi seorang guru agama. Karena orang di kampungnya, selalu menghormati guru agama, hingga akhirnya masuk Pendidikan Guru agama (PGA).
"Karena pikiran orang Madura, guru agama itu hebat, tampil di kondangan dapat berkat dapat amplop. Hebat sudah kalau jadi guru agama," katanya.
Tetapi, ketika menuntut ilmu di PGA wawasan Mahfud bertambah hingga kemudian bercita-cita berubah, tidak sekadar sebagai seorang guru. Ia pun menjadi satu dari tiga murid lulusan terbaik di PGA, yang kemudian mengantarkannya dikirim ke Yogyakarta guna menempuh pendidikan hakim negeri, PHIN.
"Ini setelah SMA, bukan untuk menjadi hakim beneran. Hanya untuk menjadi pegawai di kantor pengadilan agama. Pegawainya, bukan jadi hakimnya," tegasnya.
Saat itu, Mahfud kagum dengan para pengajarnya dari kalangan hakim, dosen, pengacara, dan lain-lain. Cita-citanya pun berubah, dari jadi guru agama berubah menjadi seorang hakim. Lulus PHIN, mendaftar di kantor Kepaniteraan Pengadilan Agama.
Karena orang tunya hanya pegawai di kantor kecamatan, untuk sekolah sebagai hakim tidak punya uang. Mahfud mendaftar di departemen agama di bagian kepaniteraannya, meski kemudian tidak lulus.
"Nilai saya bagus, tapi saya enggak lulus, teman saya yang nilainya jelek-jelek, masuk semua. Karena enggak lulus, cita-cita saya jadi hakim saya lanjutkan, saya masuk ke fakultas hukum," kisahnya.
Mahfud pun berburu beasiswa di antaranya Supersemar, Dharmasiswa, sehingga bisa bebas tidak membayar biaya kuliah. Selama menjadi mahasiswa otaknya semakin terbuka. Kuliah dengan dosen-dosen terbang dengan segala keahliannya, membuat cita-citanya pun berubah menjadi dosen.
"Cita-cita itu bisa berubah-ubah untuk saya. Saya kagum kepada dosen muda, dosen terbang dari Jakarta, Surabaya, setiap datang memberi kuliah dengan enak, membawa buku-buku besar. Saya ingin menjadi dosen," ungkapnya.
Mahfud lulus kuliah 1983, yang dalam beberapa tahun kemudian melihat suasana politik nasional yang bergejolak. Tahun 1987, banyak demo menolak Soeharto kembali menjadi presiden sehingga saat itu membuka ruang perubahan.
"Kalau ada rapat kabinet itu ada menteri, lalu menterinya pakai jas, enaknya jadi menteri, lalu saya lihat anggota DPR. Saya dulu ingat Ridwan Saidi, kalau bicara ke masyarakat hebat sekali," kisahnya.
Mahfud menegaskan, cita-cita apapun dalam situasi zaman sudah merdeka sekarang ini, bisa diwujudkan, sepanjang disertai dengan niat dan kesungguhan. Namun diingatkan, kalau menjadi pejabat agar tidak korupsi uang negara.
"Jadi apa saja bisa, yang kaya juga banyak, yang koruptor juga banyak. Zaman Belanda apa yang mau dikorupsi. Sekatang tinggal akhlak saja, pejabat mau korupsi tinggal korupsi saja, bisa. Perlunya akhlak di situ, karena koruptor itu punya otak tapi tidak berwatak. Tidak berwatak baik," jelasnya.
Mahfud berpesan, agar tidak sekadar ingin menjadi sarjana, tetapi harus menjadi cendekiawan, yang disebutnya sebagai Sarjana yang Sujana (baik).
"Bukan hanya pintar otaknya, tetapi juga mulia hatinya. Tidak sombong, tidak sewenang-wenang, tidak mabuk kekuasaan," terangnya.
Setiap massa, dalam perjalanan Indonesia selalu muncul cendekiawan yang patut dicontoh. Massa orde baru yang disebut sangat otoriter, dicontohkan, muncul tokoh-tokoh yang patut diteledani.
Akhir 70-an, kata Mahfud dikenal tokoh Jenderal Mochammad Jusuf, orang yang paling diakui, jujur, tegas tulus kepada negara. Setelah itu muncul nama ekonom Mari'e Muhammad, Malik Fajar dan lain sebagainya. Sikap mereka itulah menjadi inspirasinya selama menduduki berbagai posisi itu.
"Bukan apa-apa, bukan dibuat-buat, bukan pencitraan. Karena apa, itulah tugas kita sebagai cendekiawan, bukan sewenang-wenang pada rakyat, tetapi melayani sehingga rakyat senang. Inilah contoh yang baik," ungkapnya.