Mengenang KH. Anwar Nur, sang pendiri Pondok Pesantren Annur Bululawang.
Merdeka.com, Malang - Sekitar 2000 jamaan memadati Pondok Pesantren (Ponpes) Annur, kecamatan Bululawang, kabupaten Malang, Minggu (8/1). Kehadiran mereka, tak lain untuk memperingati haul ke-26 KH. Anwar Nur, pendiri sekaligus pengasuh ponpes tersebut. Selain mengenang jasa dan sejarah kehidupan sang pendiri, acara tersebut digelar sebagai ajang menutut ilmu dan bersilaturahmi bagi kaum muslimin.
"Ulama dan para Kyai adalah salah satu pejuang dalam pembenahan mental serta pencerdasan anak bangsa, maka hingga saat ini dunia pesantren sangan berkontribusi terhadap pemerintah untuk membangun bangsa dan negara," ungkap Wakil Bupati Malang, H. M. Sanusi.
Tradisi haul sudah tak asing lagi bagi kalangan pesantren, khususnya untuk tokoh agama atau ulama seperti KH. Anwar Nur. Pemerintah, kata Sanusi, sangat berterima kasih kepada para ulama, karena sejak masa penjajahan hingga saat ini sudah banyak melahirkan generasi bangsa yang bermental religius. Mereka juga berperan serta dalam memunculkan banyak sumber daya bangsa yang berakhlak mulia.
Dalam kesempatan yang sama, Dr. Fahrurozzi mewakili keluarga besar Ponpes Annur menyampaikan sekilas kisah tentang Ponpes Annur. Ponpes Annur, kata Fahrurozzi, dirintis oleh KH. Anwar Nur, para santri, dan warga sekitar sejak tahun 1940-an. Pada zaman pendudukan Jepang tahun 1943, ketenangan Ponpes Annur terganggu lantaran bahan bahan yang diperlukan sulit didapat. Akibatnya, sebagian besar santri terpaksa pulang kerumah masing-masing.
"Hanya beberapa orang saja yang tinggal, sedang kehidupannya terserah kepada kiyai. Sesudah itu indonesia merdeka," kisah Fahrurozzi.
Pasca proklamasi, banyak santri Ponpes yang dahulunya pulang, memilih untuk kembali. Bahkan, taks edikit santri anyar yang berdatangan dari luar daerah, seperti Yogyakarta, Solo, dan Probolinggo. Sayangnya, kondisi tersebut tak bertahan lama, lantaran adanya Agresi Militer Belanda pada tahun 1947-1948.
KH. Anwar Nur terpaksa mengungsikan keluarga ke desa Ganjaran Gondanglegi, kabupaten Malang. Ia sendiri bersama para santri yang sudah dewasa bergabung dengan pasukan gerilya untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. Mereka hidup berpindah-pindah antara Gondanglegi, Krebet dan Bululawang.
"Semoga perjuangan beliau bisa diteruskan oleh keluarga dan para santri, sehingga tetap bisa berperan dalam pembangunan di bumi nusantara NKRI," harap Fahrurozzi.
Tentang KH. Anwar Nur, ia wafat pada usia 93 tahun. Ia memiliki kebiasaan membaca Al-Quran setiap hari, dan rutin salat berjamaah. Meski usianya terbilang senja, namun kondisi kesehatannya cukup baik. Bahkan, ia bisa membaca Al-Quran tanpa bantuan kacamata.
"Salah satu aktifitas yang menunjang kesehatan beliau adalah setiap malam hari selalu mandi menjelang sholat tahajud dalam kondisi apapun," pungkasnya.
Tampak dalam acara tersebut Muspika kecamatan setempat serta para ulama dan santri dari berbagai angkatan. Selain dibacakan sejarah berdirinya pesantren, acara tersebut juga diisi siraman rohani oleh Dr. KH. Hasyim Muzadi dan KH. Mujayyid dari Malang.