1. MALANG
  2. GAYA HIDUP

Membaca seluk beluk diabetes, mulai dari risiko hingga diet tepat

Menyimak penjelasan pakar kesehatan tentang diabetes, mulai dari faktor risiko penyebab hingga diet tepat untuk mengurangi faktor risiko.

ilustrasi Diabetes. ©2017 Merdeka.com Reporter : Siti Rutmawati | Senin, 09 Oktober 2017 06:09

Merdeka.com, Malang - Diabetes nampaknya menjadi penyakit tidak menular yang layak untuk diwaspadai keberadaannya. Bagaimana tidak? Data World Health Organization menunjukkan bahwa estimasi jumlah penderita diabetes di dunia mengalami empat kali kenaikan sejak tahun 1980-an. Jumlah penderita diabetes pada tahun 1980an sekitar 108 juta dan meningkat menjadi 415 juta pada tahun 2015. Sementara pada tahun 2010, jumlah tersebut diperkirakan meningkat menjadi 642 juta penderita.

Indonesia sendiri, pada tahun 2015 lalu mulai menyandang peringkat ketujuh untuk prevelansi penderita diabetes tertinggi di dunia, dengan jumlah estimasi sebesar 10 juta penderita. Diabetes dengan komplikasi bahkan menjadi penyebab kematian di negara berjuluk Zamrud Khatulistiwa ini. Sekitar 2/3 orang dengan diabetes di tanah air, tidak mengetahui dirinya memiliki diabetes, dan berpotensi mengakses layanan kesehatan dalam kondisi terlambat (sudah dengan komplikasi).

Menanggapi kondisi tersebut, dokter spesialis penyakit dalam, Eric Rahardi menyampaikan, diabetes melitus (DM) memang penyakit yang muncul tanpa gejala. Justru, gejala akan mulai muncul setelah orang tersebut telah mengidap diabetes. Kata Eric, ada beberapa tahapan penyakit yang dialami pasien sebelum komplikasi diabetes. Yakni, prediabetes, diabetes, dan komplikasi.

Prediabetes merupakan kondisi di mana kadar glukosa darah berada di bawah kadar glukosa darah untuk diabetes. Menurut Alodokter, kadar gula darah normal tidak berpatokan pada satu angka baku. Kadar ini bisa berubah, seperti saat sebelum dan sesudah makan atau juga saat waktunya tidur. Berikut kisaran kadar gula darah normal pada tubuh:
- Sebelum makan: 70 - 130 mg/dL.
- Dua jam setelah makan: kurang dari 180 mg/dL.
- Setelah tidak makan (puasa) selama setidaknya delapan jam: kurang dari 100 mg/dL.
- Menjelang tidur: 100 – 140 mg/dL.

Sementara itu, Eric menjelaskan bahwa kemunculan prediabetes tidak menunjukkan gejala. Sehingga, penting untuk melakukan uji saring (skrinning) kesehatan, khususnya bagi orang-orang yang memiliki risiko diabetes melitus, tetapi tidak menunjukkan gejala apapun.

"Prediabets itu tidak ada gejala. Makanya saya bilang ada skriningnya. Kita deteksinya bukan karena gejala. Wong diabetes saja 50 persen tanpa gejala, apalagi prediabetes, itu tanpa gejala," papar Eric kepada merdeka.com, di sela-sela acara Talkshow Prediabetes Prodia di Kota Malang, Sabtu (9/9) lalu.

Menyinggung soal faktor risiko diabetes, Eric menjelaskan, ini bisa dikelompokkan menjadi faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah umur, jenis kelamin, riwayat keluarga dengan diabetes melitus, riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lebih dari 4000 gram, dan riwayat lahir dengan berat lahir kurang dari 2500 gram. Sedangkan, faktor risiko yang dapat dimodifikasi berkaitan erat dengan gaya hidup tak sehat, seperti obesitas, kurang aktivitas fisik, hipertensi, diet tidak seimbang, riwayat Toleransi Glukosa Terganggu, dan merokok.

"Ada keturunan, ukur BMInya, kok kegemukan, kerjaannya duduk aja, jarang gerak (oalahraga), sebaiknya cek. Kalo kolesterolnya tinggi, ada riwayat sakit jantung, gak usah nunggu gejala, harus cek itu," tegasnya.

Lebih lanjut, Eric menambahkan, pola makan masyarakat dewasa ini turut berperan dalam mencetuskan risiko diabetes. Yakni, pola makan tidak sehat yang mengarah pada konsumsi makanan instan maupun junkfood.

"Pola makan kita, pola makan yang instan, junkfood, itu juga mencetuskan risiko diabetes. Jika dia sudah ada faktor keturunan, sudah ada bawaan, gaya hidup tidak sehat, ya jadilah dia diabetes melitus( DM tipe dua)," ujarnya.

Saat ditanya tentang tips menjaga pola makan sehat, Eric mengatakan, penting untuk mengukur jumlah kalori yang masuk ke dalam tubuh. Secara sederhana, kita dapat menggunakan sistem zimbabwe hand jive untuk mengukurnya. Yakni, cara mengukur jumlah asupan nutrisi makanan dengan menggunakan telapak tangan.

Ilustrasi Zimbabwe Hand Jive
© gymless.training/gymless.training

 

"Jadi kalo makan karbohidrat cukup satu kepalan tangan. Proteinnya, satu telapak tangan, dan sayur-sayuran dekapan dekapan tangan, untuk setiap kali makan. Buah sayur itu yang paling banyak, tapi karbohidratnya-nya jangan banyak-banyak," tegas Eric.

Bicara soal diet makanan, Eric mengatakan bahwa diet rendah karbohidrat memiliki dampak yang baik bagi tubuh, karena dapat meningkatkan usia harapan hidup. Hal ini telah dibuktikan melalui sebuah penelitian ilmiah yang dilakukan pada tikus percobaan.

"Kalau mengurangi karbo(karbohidrat) bisa menambah usia 5-7 tahun. Repotnya, usia muda itu sukanya yang instan, yang banyak gula, itu seharusnya sudah mulai diubah," tandas Eric.

Selain itu, Eric menilai, diet diabetes pun menjadi pola makan sehat yang layak untuk diperhitungkan. Diet diabetes, kata Eric, memiliki pola makan dengan porsi kecil namun sering.

"Diet diabetes itu sedikit tapi sering. Jadi dia harus makan sesering mungkin, untuk mengontrol insulinnya agar tidak naik turun. Misal, dia makan jam 7 pagi, begitu dia makan kan insulinnya naik, dan nanti bakal perlahan-lahan turun. Nah, sebelum dia turun sangat rendah, kita kasih makan dulu, jam 10 kita nyemil. nanti insulinnya bakal naik lagi, jadi enggak sampek terlalu rendah. Jam 13.00 makan siang, jam 4 nyemil lagi. Terakhir, makan malam minum susu rendah kalori," ujarnya.

terkait soal camilan di sela-sela makan besar, Eric menyarankan untuk mengonsumsi makanan dengan indeks glikemik (Ig) rendah. Yakni, seperti havermut, dan outmeal.

PILIHAN EDITOR

(SR)
  1. Kesehatan
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA