Rizal Ramli meminta KPK juga memproses kebijakan-kebijakan yang menimbulkan kerugian perekonomian negara.
Merdeka.com, Malang - Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memulai sejarah baru dengan menyelidiki dugaan kasus yang telah dilaporkannya. Rizal meminta lembaga antirasuah itu dalam memberantas kasus korupsi tidak hanya fokus pada kerugian negara. Tetapi juga memproses kebijakan-kebijakan yang menimbulkan kerugian perekonomian negara.
"Undang-undang ada pasal yang mengatakan, bisa dituduh melakukan tindakan yang merugikan ekonomi nasional, artinya tindakan yang merugikan petani, nelayan bisa dikenakan tindakan korupsi," kata kata Rizal Ramli usai memberikan kuliah tamu Gerakan Belajar (Gelar) Kebangsaan di Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Brawijaya (UB) Malang, Kamis (25/10).
Rizal telah menyerahkan laporan dan bukti delapan dugaan tindak pidana korupsi impor pangan senilai Rp 24 triliun, Rabu (24/10). Laporan itu berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).
"Jadi kami minta supaya KPK memulai sejarah baru, tidak hanya fokus korupsi gara-gara impor yang dibeli pemerintah. Tapi juga impor yang merugikan petani dan konsumen, kalau itu terjadi Indonesia akan jauh lebih baik dan lebih adil," jelasnya.
Rizal yang diterima oleh pimpinan KPK Basaria Panjaitan menyampaikan harapannya, karena menurutnya banyak kebijakan impor pangan yang ujung-ujungnya merugikan petani dan nelayan. Tidak hanya persoalan untuk komoditi beras saja yang urusannya dengan kerugian keuangan negara, tetapi yang lain juga.
"Waktu kami ketemu pimpinan KPK, kami minta jangan fokus hanya pada kerugian keuangan negara. Biasanya kan begitu. Itu hanya berlaku untuk komoditi pembelian negara, seperti beras itu kan pembelinnya negara. Tapi untuk komoditi yang lain, itu ada kerugian untuk ekonomi nasional, terutama petani dan konsumen," jelasnya.
Kata Rizal, karena konsumen terpaksa harus membeli bahan pangan seperti daging, gula dan lain sebagainya dengan harga dua kali lebih mahal dari harga di luar negeri.
Rizal mencontohkan harga bawang putih di China hanya Rp 5 ribu sampai Rp 6 ribu per kilogram. Ditambah ongkos transportasi Rp 3 ribu, asuransi dan sebagainya Rp 9 ribu dan biaya tambahan Rp 10 ribu. Tetapi harga dalam negeri tertinggi yang ditetapkan pemerintah Rp 38 ribu. Terdapat selisih harga besar sekali yakni Rp 28 ribu atau 3 kali.
"Kalau impor yang wajar, memang diperlukan, karena ada kelangkaan yang sunguh-sunguh tidak ada masalah. Tetapi yang terjadi beberapa waktu terakhir ini, adalah impor di luar kewajaran. Impornya kagak perlu, ditambah-tambahin, impor ugal-ugalan," tegasnya.
Misalnya, kata Rizal, garam ditambah impornya 1,5 juta ton, sehingga petambak garam dirugikan. Total dari kelebihan impor, baik garam maupun gula, beras dan sebagainya nilainya Rp 24 triliun.
Indonesia, disebut Rizal menghabiskan divisanya untuk memperkaya industri garam di Australia dan memperkaya petani di Thailand dan Vietnam. Sementara petani garam dan bawang di dalam negeri menangis karena kebijakan itu.
"Pemerintah ini kerja buat petani di Vietnam, di Thailand atau buat petani kita. Seandainya, dia tidak impor ugal-ugalan uang itu bisa digunakan beli garam lokal, beras lokal, bawang putih lokal, gula lokal. Rp 24 triliun, apa petani kita tidak makin sejahtera? Itu dua kali dari anggaran Departemen Pertanian," jelasnya.