1. MALANG
  2. KABAR MALANG

Penjual gorengan batasi jumlah cabai pembeli

Efek kenaikan harga cabai dirasakan oleh para penjual gorengan di Kota Malang. Keuntungan penjualan berkurang demi tetap menyediakan cabai.

Darmadi Sasongko. ©2017 Merdeka.com Editor : Siti Rutmawati | Contributor : Darmadi Sasongko | Selasa, 10 Januari 2017 10:07

Merdeka.com, Malang - Efek kenaikan harga cabai yang begitu fantastis dirasakan oleh para penjual gorengan di Kota Malang. Keuntungan dari penjualan harus berkurang demi tetap menyediakan cabai bagi penikmat jajanan pinggir jalan itu.

Tidak mungkin memang, menjual gorengan seperti tahu isi, ote-ote, tahu bulat, mendoan dan menjes (tempe bongkrek) tanpa cabai. Pembeli selalu bertanya saat cabai tidak tersedia, terutama saat langsung menikmati di tempatnya.

Mbak Ning, penjual gorengan di Jalan Sunandar Priyo Sudarmo, Kota Malang mengaku harus mengantisipasinya agar tidak terlalu merugi. Tetapi dirinya juga tidak mau pelanggannya kecewa karena persoalan cabe.

"Caranya dibatasi pengambilan lomboknya (cabe). Tidak ditaruh di meja begitu. Kalau biasanya memang diletakkan di meja dalam wadah, sekarang tidak berani, rugi," kata Mbak Ning sambil melayani pelanggan, Minggu (8/1).

Mbak Ning menggunakan cabe kecil hijau yang memang khusus untuk makan gorengan. Harga beli di pasar masih di atas Rp 70.000 per kilogram, kendati kebutuhannya tidak lebih dari dua kilogram.

Tetapi baginya, dengan harga gorengan Rp 700 per biji dan pekerja empat orang yang membantunya, angka itu sangat berharga. Karena, katanya keuntungan tidak terlalu besar.

Mbak Ning meletakkan cabainya di sebuah nampan di belakang tempatnya berdiri. Saat pembelinya datang mengambil gorengan, ia akan menyesuaikan jumlahnya.

Tangannya meraih cabe, seolah sambil menghitung, di samping juga memberi petis yang sudah terbungkus plastik. Khusus petis memang tidak pengaruh dan tetap tersedia seperti biasa.

"Kalau ada pembeli diambilkan cabainya, nanti kalau sudah turun harganya juga akan seperti biasa lagi," katanya.

Kondisi serupa juga diungkapkan oleh juragan penjual bakso yang mengaku harus mengatur penyediaan sambal. Sambal tidak diumbar begitu saja kepada para pembelinya.

"Sambal itu kan sebenarnya bonus, tidak dihitung saat membeli bakso. Tetapi saat harganya Rp 100.000 begini ya bikin pusing juga," kata Susanto, juragan bakso.

Susanto memiliki lima orang penjual yang keliling dengan gerobak. Sementara dirinya hanya memasak saja, termasuk menyediakan sambel.

"Sehari sekitar empat kilogram cabai untuk sambalnya. Nanti dibagi lima orang penjual," katanya.

Santo juga mengungkapkan, kalau penjualnya yang keliling di sekolahan lebih banyak menghabiskan sambal. Anak-anak remaja usia SMP dan SMA, menurutnya jago makan pedas.

Baik Mbak Ning maupun Susanto mengatakan, kalau pelangganya bisa memahami dengan langkah yang mereka ambil. Saat cabainya berkurang atau sambalnya kurang pedas, pelanggan bisa mengerti.

PILIHAN EDITOR

(SR) Laporan: Darmadi Sasongko
  1. Ekonomi
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA