1. MALANG
  2. KABAR MALANG

Pengawasan akun medsos dosen dan mahasiswa untuk radikalisme dinilai kurang efektif

Langkah Menristekdikti untuk elakukan pengawasan aktivitas media sosial para rektor dan dosen terkait radikalisme dinilai kurang efektif.

©2018 Merdeka.com Editor : Rizky Wahyu Permana | Contributor : Darmadi Sasongko | Kamis, 07 Juni 2018 18:37

Merdeka.com, Malang - Langkah Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir melakukan pengawasan aktivitas media sosial para rektor dan dosen dengan alasan memantau masuknya paham radikalisme ke dalam kampus dinilai kurang efektif. Meski langkah itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar untuk dilakukan sebagai langkah antisipasi.

"Itu kan mengantisipasi, dalam konteks upaya antisipasi boleh-boleh saja. Tetapi efektivitasnya perlu dipertanyakan," kata Rektor Universitas Muhammadiyah Malang(UMM) Fauzan, Rabu (6/6).

"Apa itu efektif kalau arahnya upaya deradikalisasi. Kayak kita ini, orang yang mencoba mengungkap radikalisme, terus apa benar tidak terlibat? Ya kalau memang sebagai antisipasi tentu boleh-boleh saja, tetapi tingkat efektivitasnya yang perlu kita lihat," sambungnya menambahkan.

Kata Fauzan, upaya penting yang perlu dilakukan adalah pendampingan setiap Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di masing-masing kampus. Pendampingan itu dilakukan oleh dosen yang memang diberi tugas atau bertanggung jawab terhadap masing-masing UKM.

"Saya lebih sepakat, seumpama Kemenristekdikti menurunkan regulasi yang menyebutkan di situ ada pendampingan-pendampingan di setiap unit kegiatan mahasiswa. Itu saya kira lebih bagus. Itu efektif, meskipun toh itu juga belum tentu menjamin 100 persen, tetapi langka ini bisa dijadikan warming," jelasnya.

Kata Fauzan, UMM adalah perguruan tinggi yang mengemban misi idiologis Muhammadiyah dan sejak awal menolak radikalisme. Upaya yang suah dilakukan adalah mengontrol terhadap seluruh kegiatan mahasiswa agar tidak terpapar ideologi sesat, termasuk radikalisme dan terorisme.

"Deradikalisasi itu kita antisipasi dengan cara pendampingan terhadap seluruh kegiatan kemahasiswaan. Itu sebagai bentuk kontrol untuk memantau idologi-idologi yang berkembang, yang ditengarai mengarah pada radikalisme," jelasnya.

Menurutnya, kalau radikalisme banyak tumbuh di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia karena memang PTN tidak berbasis keislaman seperti kampusnya. Semua perguruan tinggi Muhammadiyah membangun mahasiswa berwawasan kebangsaan dan keislaman yang tentu versi Muhammadiyah.

Seluruh kegiatan organisasi di kampusnya diatur dari mulai lembaga intranya, termasuk kajian-kajian Islam. Semua didampingi seorang dosen, yang bertanggung jawab mengawal organisasi-organisasi itu.

Sepanjang kegiatan dilakukan di Kompleks UMM, dipastikan masih terpantau. Tetapi memang tetap harus waspada, gerakan terorisme dan radikalisme disebut sebagai siluman.

Gerakan mereka mengambil basis anak-anak muda yang berpendidikan. Sehingga memang pendampingan saja tidak cukup, karena organisasinya yang tidak permanen dan bisa membubarkan diri sewaktu-waktu.

"Tahun 2005, pernah mahasiswa kami sebagai korban NII (Negara Islam Indonesia) yang dicuci otaknya. Saya ingat, karena saya kepala Biro Kemahasiswaan," tegasnya.

Selain itu UMM juga menjalin kerja sama dengan stakeholder dan warga lingkungan kampus untuk menciptakan kondisi aman dan nyaman. Bahkan kerjasama terjalin dari tingkat RT RW, karena memang kampusnya berada di perkampungan.

"Karena yang kami antisipasi sebenarnya tidak hanya radikalisme saja. Radikalisme ini kan menjadi berita menarik karena memiliki pemuatan politik yang kuat. Tetapi tidak kalah pentingnya peredaran narkoba, hubungan bebas yang juga harus dintisipasi. Kita kerja dengan unit masyarakat tersebut mengantisipasi agar tiadak terjadi persoalan itu," jelasnya.

PILIHAN EDITOR

(RWP) Laporan: Darmadi Sasongko
  1. Kampus
  2. Media Sosial
  3. Universitas Muhammadiyah Malang
  4. Terorisme
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA