Usai menjalani pemeriksaan KPK selama 7 jam, Jarot Edy Sulistyo memilih bungkam saat ditanya dugaan penyuapan yang dilakukannya pada Arief.
Merdeka.com, Malang - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Pengawasan Bangunan (PUPPB), Jarot Edy Sulistyo, Senin (21/8). Jarot menjalani pemeriksaan tersebut selama sekitar 7 jam. Usai diperiksa, Jarot hanya menunduk hingga memasuki mobil taksi.
Dilansir merdeka.com, Jarot memilih bungkam saat ditanya awak media terkait dugaan praktik penyuapan yang dilakukannya kepada mantan Ketua DPRD Kota Malang, Moh Arief Wicaksono. Ia memilih diam dan terus berjalan sembari dipegang erat oleh kuasa hukumnya.
Sebelumnya, Jarot juga pernah dipanggil KPK sebagai saksi untuk tersangka Moh Arief Wicaksono (MAW). Jarot sendiri ditetapkan sebagai tersangka yang diduga menyuap MAW.
"MAW diduga menerima hadiah atau janji dari JES, Kadis PUPPB Pemkot Malang tahun 2015," katan Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, Jumat (11/8).
Kasus suap tersebut, kata Febri, terkait pembahasan APBD Perubahan Kota Malang Tahun Anggaran 2015. Dalam perkara ini, Arief dan Jarot ditetapkan sebagai tersangka.
"KPK menetapkan keduanya sebagai tersangka, MAW dan JES," jelasnya.
Febri mengatakan, Arief selaku Ketua DPRD Kota Malang diduga menerima suap berupa hadiah atau janji terkait penganggaran kembali proyek pembangunan Jembatan Kendung Kandang, dalam APBD Kota Malang Tahun Anggaran 2016 pada 2015.
"Nilai proyek pembangunan jembatan tersebut yakni Rp 98 miliar yang dikerjakan secara multiyears tahun 2016 sampai 2018. Suap tersebut diduga diberikan oleh Komisaris PT ENK, Hendarwan Maruszaman," tambahnya.
Dalam kasus pertama dan kedua, Arief selaku penerima suap disangkakan dengan Pasal 12 huruf a atau b, atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Kemudian sebagai pihak pemberi suap di perkara pertama ini, Jarot dikenakan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b, atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.