Berbagai kelompok musik dan tari yang hadir pada gelaran hari keempat ini menjadikan hujan dan mati lampu bukan sebagai halangan.
Merdeka.com, Malang - Hujan deras serta mati lampu yang menimpa wilayah desa Kalisongo pada hari gelaran keempat Festival Kampung Cempluk 7 ternyata tidak membuat pengunjungnya surut. Hawa dingin yang terasa serta kondisi serba gelap yang terjadi malah membuat nama 'Cempluk' yang melekat pada festival budaya itu benar-benar menjadi salah satu alat penerangan utama.
Walaupun hawa terasa cukup dingin, namun hal itu tidak terasa ketika berada di depan pangung Panji Asmara Bangun yang memanas karena beberapa penampil yang ada di sana. Mengangkat tema Saling Silang Bunyi Jaringan kampung Nusantara pada hari keempat (23/9) ini, panggung tersebut dimeriahkan oleh berbagai aksi kebudayaan dari berbagai daerah luar Malang. Bahkan terdapat musisi asal Spanyol yang juga turut tampil di panggung tersebut.
Dibuka oleh sajian tari Bapang khas Malang, panggung kemudian diisi dengan pertunjukkan tari dolanan. Tarian ini cukup unik karena memanfaatkan berbagai mainan khas anak-anak seperti bakiak dan egrang, bahkan dalam tarian ini juga dilibatkan anak-anak untuk ikut bermain dan menari bersama.
Sajian selanjutnya adalah STK UM yang menampilkan tarian cukup indah yang disajikan oleh empat perempuan. Tarian tersebut mengangkat tema mengenai wanita Jawa yang disimbolkan dengan mereka yang memakai sopak atau rambut panjang yang khas. Tarian ini cukup memukau penonton yang menyemut di depan panggung.
Pertunjukkan selanjutnya merupakan sajian wayang orang yang elegan dan juga memukau. Fragmen tari Satrio Manunggal ini disajikan oleh Paguyuban Boworoso Surya Aji dalam bentuk sajian wayang orang. Cerita yang disajikan berupa Arjuna yg berjalan di tengah hutan dan diganggu oleh segenap penunggu tempat tersebut. Walaupun sempat kalah karena dikeroyok namun kemudian dia dibantu Gatotkaca dan berhasil selamat.
Setelah tampilan berbagai tari-tarian, kemudian muncul pertunjukkan musik dari Rodrigo Parejo, pemain violin asal Spanyol. Rodrigo menampilkan komposisi violin nuansa oriental yang serasa membawa ke hutan bambu. Tumpukan suara violin yang meruang dengan berbagai efek yang digunakan berpadu dengan komposisi nada yang menjelajah dan bernuansa oriental.
Tak hanya tampil sendiri, Rodrigo kemudian juga bermain dengan didampingi oleh Redy Eko Prastyo dan Gregorius Argo yang sama-sama bermain sapek. Hadirnya alat musik dawai khas Kalimantan ini membuat suasana menjadi syahdu dan khas seperti berada di pedalaman hutan pulau Borneo tersebut.
Kondisi malam yang dingin berpadu dengan komposisi musik yang membuai menjadikan imaji penonton terbang jauh ke pulau seberang. Nuansa yang dimunculkan bagaikan mengayuh sampan melewati rimbunnya belantara yang menutupi sungai Kapuas kemudian di tengah-tengah, irama berubah menjadi rancak bagai tengah menaklukkan jeram.
Selepas musik tradisional, kemudian giliran Malang youth Orchestra yang membawa suasana orkestra ke tengah-tengah kampung. Komposisi musik yang dimainkan membuat penonton menjadi khidmat mendengarkan.
Selepas orkestra, musik kembali ke Nusantara dengan tampilnya cak hewodh yang menampilkan alat musik dawai yang unik dan terbuat dari wadah tuak lengkap bersama pikulannya. Pertunjukannya dilengkapi dengan aksi visual berupa dua orang yang melukis di atas panggung.
Panggung kampung Cempluk pada malam tersebut kemudian ditutup dengan pertunjukkan Jazz Patrol Kampung Temanggungan Banyuwangi. Irama rancak patrol dan berbagai tetabuhan yang ditampilkan dalam irama jazz oleh kelompok ini menjadikannya tetap ditunggu oleh penonton walau waktu sudah hampir tengah malam.
Berbagai keriaan serta seni yang ditampilkan pada festival kampung ini menjadikannya layak disebut sebagai hari raya kebudayaan bagi masyarakat sekitar. Festival Kampung Cempluk ini sendiri digelar mulai 20 hingga 24 september 2016.