1. MALANG
  2. GAYA HIDUP

Gurat sejarah masyarakat Tionghoa Malang di Kelenteng Eng An Kiong

Kelenteng Eng An Kiong merupakan penanda eksistensi budaya dan masyarakat Tionghoa di Malang sejak ratusan tahun silam

©2017 Merdeka.com Reporter : Rizky Wahyu Permana | Kamis, 26 Januari 2017 00:08

Merdeka.com, Malang - Salah satu jejak paling tua masyarakat Tionghoa di kota Malang terletak di wilayah perempatan antara jalan Martadinata dan jalan Zainal Zakse. Di persimpangan antara kedua jalan tersebut, terletak sebuah bangunan yang cukup menonjol dan berbeda dari sekelilingnya yang didominasi oleh pertokoan. Warna merah yang terlihat dominan di bangunan tersebut serta gapura yang menyambut menandakan kentalnya unsur Tionghoa di bangunan yang dikenal sebagai Kelenteng Eng An Kiong tersebut.

Kelenteng Eng An Kiong sendiri, dipercayai telah berdiri sejak tahun 1825. Berdirinya kelenteng pada tahun tersebut menandai bahwa sebelum pendirian tersebut telah ada masyarakat Tionghoa yang tinggal dan membentuk perkampungan di sekitarnya. Lazimnya, kelenteng memang baru dibangun di wilayah sekitar ketika sudah ada cukup banyak masyarakat Tionghoa di sekitarnya.

Di Wilayah sekitar Eng An Kiong sendiri pada masa 1800-an memang merupakan wilayah pecinan lama sebelum kotamadya Malang berdiri dan pecinan bergeser ke daerah pasar besar. Pada saat itu, pecinan berpusat di wilayah yang kini dikenal sebagai Boldi serta wilayah Kebalen. Oleh karena itu, hingga saat ini masih banyak dijumpai masyarakat keturunan Tionghoa yang tinggal di wilayah tersebut bahkan dengan rumah yang memiliki arsitektur pecinan yang khas.

Menurut cerita, pada tahun 1825 kelenteng ini dibangun atas prakarsa dari Liutenant Kwee Sam Hway. Gelar Liutenant yang diberikan kepada Kwee Sam Hway ini sebagai penanda bahwa pada masa tersebut sudah ada komunitas Tionghoa yang cukup besar dengan adanya seorang pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai pemimpin di komunitas tersebut.

Kelenteng Eng An Kiong
© 2017 merdeka.com/Siti Rutmawati

Kwee Sam Hway sendiri dipercaya merupakan keturunan ketujuh dari seorang jenderal di masa ketika Dinasti Ming berkuasa di Tiongkok. Pada saat itu, keturunan sang jenderal penguasa tersebut ditekan oleh Dinasti Jing sehingga akhirnya terpaksa melarikan diri ke Nusantara.

Sebelum tinggal dan mendirikan komunitas Tionghoa dan kelenteng yang cukup besar di Malang, Lt. Kwee Sam Hway sebenarnya berasal dari Sumenep. Pada waktu itu, leluhurnya sudah tinggal di Sumenep dan bahkan menikah dan membentuk komunitas yang juga cukup besar di sana. Nama Eng An Kiong yang digunakan sendiri memiliki makna sebagai "istana keselamatan dalam keabadian Tuhan".

Dalam pembangunannya, kelenteng Eng An Kiong sendiri mengalami dua periode. Pertama yaitu pembangunan ruangan tengah dan inti pada 1825 dan kemudian baru menyusul pembangunan bangunan lain di sekitarnya pada tahun 1895 dan 1934.

Klenteng Eng An Kiong hingga kini masih tetap tegak berdiri dan tidak hanya menjadi rumah ibadah saja. Tempat tersebut juga menjadi salah satu pusat kebudayaan Tionghoa di Malang dengan berbagai perayaan yang dilangsungkannya serta pertunjukkan seni seperti barongsai dan wayang potehi. Hampir dua ratus tahun berlalu dan Kelenteng Eng An Kiong masih ada di persimpangan kota serta persimpangan zaman antara masa lalu dan masa kini yang akan berlanjut.

PILIHAN EDITOR

(RWP)
  1. Sejarah Malang
  2. Imlek 2017
  3. Pecinan
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA