Sebagai pembuka sambil menunggu Magrib, Pak Karyadi memberi cerita pengantar tentang upayanya budidaya tanaman endemis. Ia mengaku memiliki buah Carikaya (Carika), tanaman Stigi dan lain-lain, juga Edelweis. Tanaman endemis itu yang mencoba dikembangkan bersama warga setempat.
Pak Karyadi berjanji siap bercerita sepanjang malam, tetapi waktunya setelah berbuka, usai Magrib. Karena warga lain sudah diundang akan datang berkumpul membantu menyampaikan pengalaman. Kami merasa istimewa dengan rencana penyambutan itu.
Tetapi belum sempat kami berterima kasih, Pak Karyadi pun mendadak muncul dengan perlakuan istimewa yang lain. Pak Karyadi membawa loyang berisi udeng atau ikat kepala khas Suku Tengger.
Udeng itu disiapkan sebagai lambang persaudaraan yang langsung dipasangkan di masing-masing kepala kami, khusus perempuan hanya dikalungkan dengan ikatan di leher.
Ya, Pak Karyadi terus muncul mempertontonkan perlakuan istimewa bagi kami. Begitu pun sesaat setelah kami tinggalkan menjalankan salat Asar di mushala dan menikmati pemandangan sekitar, aneka suguhan berbuka pun sudah terpampang di lantai berkarpet.
Menu istimewa berupa kentang goreng yang dibiarkan bulat sesuai ukurannya, donat berbahan kentang hasil karya kelompok warga, getas dan lain-lain disuguhkan menjadi menu pembuka berbuka. Tidak lupa aneka minuman pun menjadi penyertanya.
"Saya tidak tahu Magrib itu jam berapa, tetapi nanti kalau sudah waktunya monggo langsung saja dinikmati," katanya mempersilakan.
Sementara di ruang makan sudah menunggu menu berat dengan aneka sayuran khas olahan Bu Karyadi. Semua disiapkan dengan berlebih, yang seolah memahami kami yang sedang menahan lapar dan dahaga.
Berbuka kami begitu lahap, semua suguhan mendarat di mulut dan langsung melaju masuk perut. Hanya bersela salat Magrib, suguhan menu berat pun bernasib sama. Semua suguhan begitu nikmat di tengah keberkahan puasa Ramadan.
Semakin istimewa, karena sore itu alunan musik Baleganjur turut mengiringi. Baleganjur adalah musik khas alunan gamelan Bali. Saat itu dimainkan oleh remaja-remaja kampung yang memang kerap berlatih menyambut tamu di depan rumah Pak Karyadi.
Semua perlakuan dan sambutan begitu istimewa di mata saya, apalagi para warga yang menyusul berdatangan turut bergabung untuk meyambut kami. Obrolan malam yang lepas dan apa adanya.
Kisah kearifan lokal, falsafah hidup dan konservasi alam begitu menarik bagi kami dengarkan. Ruangan bercat hijau dengan aneka foto para tokoh Dewa menjadi saksi malam itu. Semua mengalir tak terasa hingga jelang tengah malam.
Ya, Kami pun berniat pamit ke vila tempat kami menginap. Namun di balik itu ternyata Pak Karyadi pun sudah memikirkan menu sahur, yang belum sempat kami pikirkan. Pak Karyadi akan mengantarkan dan menemani kami sahur di vila yang berjarak sekitar 1 kilometer.
"Sepanjang hidup saya, baru kali ini menemani orang makan sahur, pagi-pagi sekali. Mohon maaf, menu seadanya," kata Pak Karyadi di tengah menemani makan sahur.
Kami yang sudah merepotkan, ternyata masih disambut Pak Karyadi dengan sebuah kata-kata santun. Siang hingga dini hari melayani kami secara istimewa. Bahkan mempertimbangkan, agar kami dapat menjalankan ibadah puasa dengan sempurna.
Sebuah pemandangan toleransi yang tulus, yang tidak bisa keseluruhan saya gambarkan. Tetapi kuat saya rasakan. Potret istimewa yang seharusnya menjadi tempat kita belajar, dari sekadar beradu kata dan fisik tanpa penghormatan.
Terima kasih telah berbagi pengalaman hidup, tentang persaudaraan dan cara memelihara alam yang kaya makna. Kami bangga atas keberadaanmu.
Salam hormat! Pak Karyadi, terima kasih Suku Tengger atas segala keistimewaannya.