Masyarakat Tengger menyambut dan sepenuh hati menjamu para wartawan yang mengunjungi wilayah mereka ketika Bulan Ramadan.
Merdeka.com, Malang - Saya tidak menyangka mendapatkan sambutan begitu istimewa dari Pak Karyadi, salah satu warga Suku Tengger yang tinggal di Desa Wonomerto, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan. Sebuah sambutan hangat nan ramah, bahkan penuh dengan 'fasilitas' yang sebelumnya tidak pernah saya bayangkan.
Awalnya saya sekadar ingin melihat upaya konservasi alam lewat pembibitan bunga Edelweis di sekitar Kawasan Gunung Bromo. Itupun setelah seorang jurnalis senior di Malang meyakinkan saya, kalau mempunyai akses seorang warga Suku Tengger yang bisa didatangi.
Cerita awal tentang pembibitan Edelweis dari teman jurnalis saya itu telah memantik pikiran saya untuk membuat tulisan seputar bunga endemis yang dilindungi itu. Akhirnya perjalanan pun diawali dari Kota Malang, Kamis (7/6) sekitar Pukul 12.00 WIB.
Setting Gunung Bromo dan Suku Tengger yang legendaris menjadi harapan kami untuk mendapatkan angel berita maupun foto terbaik, selain tentang 'bunga abadi' itu.
Singkat cerita, kami pun tiba di rumah Pak Karyadi, sebuah rumah sederhana yang menjadi tempat tinggal bersama kedua putranya. Senyuman ramah nan hangat menyambut kedatangan kami dan rombongan, yang saat masih berusaha menyesuaikan diri dengan hawa dingin yang mulai mengigit tulang.
Seperti warga Suku Tengger yang lain, Pak Karyadi berselimut kain sarung di pundak yang diikatkan di bawah lehernya. Tidak ketinggalan sebuah kain udeng yang terikat di kepalanya. Senyuman penuh ketulusan terus terpancar dari sela gigi tengahnya yang mulai rapuh.
"Ini semua sedang berpuasa ya? Kalau tidak, saya keluarkan suguhannya," kata Pak Karyadi berbasa-basi dengan dialek Suku Tenggernya yang khas.
Saya menangkap makna pertanyaan Pak Karyadi, yang sesungguhnya mengandung toleransi pada kami, kaum Muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa, kendati pun saat itu, tidak semua dari kami berpuasa.
Tetapi prasangka Pak Karyadi begitu baik, sehingga tetap memilih tidak menyuguhkan makanan hingga azan Magrib berkumandang. Bahkan Pak Karyadi dan beberapa tetangga yang datang tidak juga merokok di depan kami, para tamunya.
Saya yakin, ini pemandangan natural yang sudah biasa ditunjukkan oleh warga Suku Tengger. Bukan hanya pada kami, tetapi setiap para tamu yang selalu dianggap istimewa.
"Orang Tengger itu apa adanya nggih, yang dimiliki ya itu yang disuguhkan pada tamunya. Kalau suguhannya dimakan, kita sangat senang, kalau habis justru senang," kata Pak Karyadi.
"Tetapi kalau tamunya tidak mau makan suguhan, biasanya kalau bertamu lagi pemilik rumah tidak lagi menyiapkan suguhan. Dianggap sudah tidak berkenan, tapi ini kan puasa, jadi ditahan dulu," sambungnya disambut tawa kami yang pecah.