1. MALANG
  2. GAYA HIDUP

Bayu Skak ajak masyarakat pertahankan bahasa daerah lewat film

Bayu yang berhasil menelurkan film bahasa Jawa, Yowes Ben menyampaikan, perjuangan untuk mengangkat bahasa daerah perlu terus dijalankan.

©2018 Merdeka.com Editor : Rizky Wahyu Permana | Contributor : Darmadi Sasongko | Rabu, 19 September 2018 09:37

Merdeka.com, Malang - Film dapat menjadi alat untuk mempertahankan budaya asli sebuah daerah. Sayangnya, hingga saat ini jumlah film yang mengangkat budaya, termasuk menggunakan bahasa daerah masih bisa dihitung jari. Para pelaku perfilman sulit keluar dari zona nyaman untuk melahirkaansebuah karya yang berbeda.

"Kalau sekarang di Indonesia lagi ada film ramai satu, misal horor, semua bikin horor. Dulu cinta-cintaan ramai, semua bikin cinta-cintaan. Ini soalnya mereka gak bisa keluar dari zona nyaman. Jadi mereka bikin film yang di lingkaran-lingkaran itu saja,” ujar Bayu Skak, Produser dan Youtuber pada Movie Talk bertemakan Film Indonesia: Antara Idealisme dan Industri di Aula BAU Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Selasa (18/9).

Bayu menguraikan, negara maju seperti Amerika dan New Zealand berbeda ketentuan penayangan film di bioskop. Pemutaran bioskop Indonesia masih dipegang sepenuhnya oleh para pemilik bioskop tersebut.

"Jadi orang yang punya bioskop itu adalah dewa. Kalau di New Zealand atau Amerika yang nge-gong-in itu pemerintah. Pemerintah yang nonton dulu, misal ini Pusbangnya. Jadi kalau ini deal semua, bioskop-bioskop siap menanyangkan,” tambah Bayu.

Bayu yang berhasil menelurkan film bahasa Jawa, Yowes Ben menyampaikan, perjuangan untuk mengangkat bahasa daerah perlu terus dijalankan. Hanya tekad kuat saja yang dapat memproduksi film berbahasa Jawa logat Malangan di tengah kondisi pasar film yang belum tentu menerima.

Film Yowes Ben sebagai film pertama berbahasa Jawa akhirnya tayang di bioskop di seluruh Indonesia. Salah satunya juga mendapat apresiasi dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Muhadjir Effendy.

“Pak Menteri menyimpulkan bahwa ini bagus agar ke depan orang-orang menggunakan bahasa daerah disetiap karya filmya. Kita bisa berguru ke tetangga kita India. Di sana itu setiap tahunnya film terus diproduksi. Bollywood, 20 persennya bahasa nasional, 80 persennya bahasa daerah. Ini kan tidak apa, yang penting ada subtitlenya,” urai Bayu.

Ketua Prodi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politi (FISIP) UMM, M. Himawan Sutanto menjelaskan, Indonesia menjadi negara yang masih minim menggunakan bahasa daerah pada berbagai film produksinya.

“Jika Korea Selatan memiliki puluhan sekolah film dan India ratusan sekolah film, Indonesia yang masih jarang. Kami berharap teman-teman, utamanya dari luar Jawa dan dari pulau-pulau yang terpinggirkan bisa mengembangkan film yang sifatnya lebih lokal, kuat dan matang,” katanya.
Sementara Rudy Satrio Lelono seorang Praktisi Media dan Film menyampaikan, hingga saat ini dunia perfilman Indonesia maupun pemerintah terkait, tidak pernah melakukan riset khusus tentang film yang dikeluarkan di pasaran.

Padahal jika penonton ini diriset dengan jelas, para produser atau sutradara akan lebih mudah menentukan langkah untuk membuat yang selanjutnya. Meski demikian Rudi menekankankan pada para seniman film untuk mempertahankan keaslian karya yang dimiliki.

“Kuncinya satu orisinalitas, kita jujur dengan ide dan karya kita,”urainya.

Kepala Sub Bidang Apresiasi dan Penghargaan Pusbangfilm Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Robert menyampaikan bahwa saat ini pihak (Kemendikbud) siap mengapresiasi karya film dari para generasi muda Indonesia.

“Dengan tangan terbuka kami akan selalu memberikan yang terbaik bagi film-film Indonesia. Silahkan jika nanti mengajukan proposal. Walaupun baru berdiri tiga tahun, kami siap terus berkembang bersama," tegasnya

Staf Khusus Bidang Komunikasi Publik Mendikbud Nasrullah menmbahkan Indonesia, khususnya Malang punya potensi besar untuk perkembangan perfilman Indonesia. Indonesia sendiri perlu kemajuan ekonomi dari industri kreatif.

“Kita juga punya budaya yang harus dikenalkan kepada dunia. Saat ini kita memang berada diantara idealisme dan industri. Kita lumayan dalam perfilman, tetapi idealisme perfilman kita masih terseok-seok," jelas Nasrullah.

PILIHAN EDITOR

(RWP) Laporan: Darmadi Sasongko
  1. Kampus
  2. Film
  3. Universitas Muhammadiyah Malang
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA