Sejak awal digunakan hingga kini ebes merupakan salah satu kata dalam boso walikan yang sangat populer walau mengalami pergeseran makna.
Merdeka.com, Malang - "Plo, lapo umak kok ketok kesusu ngono? (Plo, mengapa kamu tampak begitu tergesa-gesa?)"
"Iki Mbez, dikongkon ebes ndang moleh ayas (ini Mbez, aku disuruh bapak cepat pulang)"
Dialog khas Malang seperti itu barangkali sudah tidak aneh dalam pergaulan kita sehari-hari. Boso Malangan atau juga biasa disebut osob kiwalan merupakan salah satu dialek bahasa Jawa khas Malang yang umum dipakai baik oleh orang tua ataupun pada anak muda.
Berawal dari sebuah bahasa yang digunakan sebagai sandi khusus pada masa revolusi fisik, bahasa ini kemudian berkembang menjadi bahasa pergaulan sehari-hari bagi orang Malang. Walaupun secara teori osob kiwalan pada dasarnya merupakan dialek bahasa Jawa yang kosakatanya berasal dari berbagai kata yang dibalik, namun bahasa ini juga memiliki beberapa kosakata sendiri yang cukup khas.
Berbagai kosakata ini kadang tidak hanya berasal dari bahasa Indonesia atau Jawa saja namun juga dari bahasa asing. Salah satu kata yang diduga berasal dari bahasa asing adalah kata 'ebes' yang cukup lazim dan sering digunakan. Pada saat ini kata tersebut memiliki arti untuk menyebut orang tua laki-laki sehingga artinya setara dengan ayah atau bapak. Sedangkan untuk menyebut orang tua perempuan, digunakan kata lain yang hampir serupa yaitu 'emes'.
Kata 'ebes' sendiri disebut sesungguhnya berasal dari bahasa Arab yaitu 'abah' atau 'sebeh'. Dari kata tersebut, kemudian arek-arek Malang membaliknya dan akhirnya menjadi 'ebes'. Namun lucunya, ebes yang sudah mengalami proses dibalik tersebut malah sering mengalami proses dibalik lagi sehingga kembali pada bentuk awalnya yaitu 'sebeh'.
Walaupun saat ini 'ebes' lebih banyak digunakan untuk menyebut ayah atau bapak, namun pada sekitar tahun 70-an, kata tersebut bisa digunakan untuk menyebut orang tua saja terlepas dari jenis kelaminnya. Keterangan tersebut dijelaskan oleh Toha, salah satu pengguna osob kiwalan sejak tahun 70-an.
"Jaman dulu itu, 'ebes' bisa dipakai buat nyebut bapak atau ibu. Kalau ke bapak jadinya 'ebes nganal' dan kalau ke ibu jadinya 'ebes kodew'," tutur Toha pada Merdeka.com.
Istilah 'nganal' sendiri berasal dari kata lanang atau pria, sedangkan 'kodew' berasal dari kata wedok yang memiliki arti perempuan. Dijelaskannya bahwa saat itu tidak umum dan hampir tidak ada yang menggunakan 'emes' untuk menyebut ibu.
Walau umum digunakan, namun istilah ebes sesungguhnya tidak digunakan untuk memanggil langsung orang tua. Dijelaskan Toha bahwa sebenarnya istilah ini digunakan untuk menyebut orang tua sebagai orang ketiga dan tidak untuk menyapanya secara langsung.
Dia mencontohkan bahwa kata tersebut biasa digunakan seperti ini, "Ebes-e Hadi wingi mari budal munggah kaji (ayahnya Hadi kemarin berangkat naik haji)", atau bisa juga digunakan dalam bentuk menanyakan kabar orang tua dari teman, "Yak opo rabak-e ebes? tahes a? (bagaimana kabarnya bapakmu? apakah sehat?)".
Penggunaan sebutan yang tidak langsung ini digunakan karena kata ebes dianggap sebagai kata yang tidak sopan untuk digunakan menyapa ke orang tua secara langsung. Namun pada beberapa kasus untuk menyapa ke orang lain yang lebih tua, kata ini masih kadang digunakan karena menunjukkan keakraban.
"Lek jaman dhisik nyeluk nang bapak opo ibuk nggawe ebes, yo iso diambleki sampek gembuk mas! (kalau dulu menyapa ayah atau ibu dengan kata 'ebes' ya bisa dipukuli sampai lunak mas!)" tandas Toha.