Walau banyak yang memandangnya angker, namun sesungguhnya hotel Niagara merupakan harta karun dan mesin waktu yang memuat sejarah ratusan tahun.
Merdeka.com, Malang - Ketika memasuki wilayah Lawang, Malang maka akan ada sebuah bangunan yang cukup menonjol karena tinggi bangunan serta arsitekturnya yang tak biasa. Bangunan yang merupakan hotel Niagara ini dapat ditelusuri sejarahnya mulai tahun 1890 dan pernah mendapat gelar sebagai gedung tertinggi di Asia. Kini, bangunan tersebut masih difungsikan sebagai hotel dengan tetap mempertahankan keaslian arsitektur serta interior yang tersimpan di dalamnya.
Desain interior hotel Niagara merupakan perpaduan yang unik dari hiasan bergaya art nuovo yang bersanding dengan ornamen art deco. Berbagai ornamen seperti pegangan tangga, jendela, panel kayu di dinding, lantai, dan berbagai ornamen lainnya masih asli, utuh dan terjaga sehingga merupakan peninggalan sejarah yang penting.
Hotel Niagara ini sendiri dirancang pada tahun 1890 oleh seorang arsitek berdarah Brazil bernama Fritz Joseph Pinedo. Pada awal pembangunannya, bangunan ini tidak direncanakan untuk digunakan sebagai sebuah hotel, pemiliknya Liam Sian Joe bermaksud menjadikannya sebagai villa pribadi. Sentuhan tionghoa pada gedung ini tampak pada berbagai patung dewa yang dipasang di atap serta ukiran singa yang terletak di langit-langit ruang makan lantai satu.
Villa ini dibangun selama kurang lebih 15 tahun lamanya, dimulai dari tahun 1903 dan selesai pada tahun 1918. Villa keluarga ini pada saat itu memiliki ukuran kamar yang tergolong cukup luas serta lantai yang juga cukup banyak. Pemilihan lokasi di Lawang juga karena tempat ini cukup dingin dan merupakan tempat peristirahatan serta dekat dengan daerah pertanian. Oleh karena itu tak heran di Lawang ini juga cukup banyak bangunan kuno yang ada dan ditinggali sejak masa lalu.
Pada tahun 1920, bangunan yang sebelumnya merupakan villa dari keluarga Liem Sian Joe ini kemudian ditinggalkan oleh pemiliknya yang hijrah ke Belanda. Pada saat itu hingga tahun 1960, bangunan ini cukup terlantar dan jarang digunakan karena ditinggal oleh pemiliknya. Bangunan itu baru mulai terurus ketika pada tahun 1960, salah seorang ahli waris keluarga Liem Sian Joe menjualnya kepada pengusaha asal Surabaya bernama Ong Kie Tjai.