1. MALANG
  2. KABAR MALANG

Film Istirahatlah Kata-Kata hanya pintu kecil mengenal Wiji Thukul

Wiji Thukul, jauh sebelum versi filmnya dibuat, berbagai upaya telah dengan susah payah mencoba menghidupkan lewat berbagai sarananya.

Gunawan Maryanto. ©2017 Merdeka.com Editor : Siti Rutmawati | Contributor : Darmadi Sasongko | Senin, 06 Februari 2017 13:03

Merdeka.com, Malang - Film tentang 'Istirahatlah Kata-Kata' hanya pintu kecil untuk mengenalkan seorang Wiji Thukul. Jauh sebelum versi filmnya dibuat, berbagai upaya telah dengan susah payah mencoba menghidupkan lewat berbagai sarananya.

"Ini diawali dari menghadirkan puisi-puisi Wiji Thukul, di mana selama ini di panggung sastra Indonesia namanya sama sekali tidak pernah dibicarakan," kata pemeran Wiji Thukul, Gunawan Maryanto di Malang, Sabtu (4/2).

Wiji Thukul saat itu bukan hanya dihilangkan dan terpinggirkan, tetapi ternyata di panggung sastra karyanya juga mulai dilupakan. Sejak saat itu berangsur puisinya mulai dibacakan dari panggung ke panggung di berbagai forum sastra.

Gerakan ini juga didukung oleh para aktivis menjadi gerakan moral di Jakarta dalam empat tahun lalu. Kekuatan demi kekuatan terhimpun dari mengumpulkan teman dan tenaga.

"Lewat seni mural, puisi, sampai kemudian temen-temen film bisa diajak untuk bekerja sama. Entah setelah ini apalagi," jelasnya.

Bukan persoalan mudah untuk menghadirkan Wiji Thukul, mengingat sosoknya yang luar biasa. Buku puisi Nyayian Akar Rumput karya Wiji Thukul bisa diterbitkan juga tidak begitu saja, tetapi setelah didesakkan oleh orang-orang di balik layar.

"Target utamanya orang jadi ngeh, kalau ada sosok Wiji Thukul, itu sudah sesuatu sekali. Kemudian masyarakat akan mencari sendiri dari sumber lainnya. Ini hanya pintu saja untuk mengungkapnya," ungkapnya.

Usia film ini akan sangat panjang nantinya dan ini baru satu fase saja. Pikiran itu juga sudah diyakini sejak film itu primiernya diputar di Swiss dan Boston setahun lalu. Orang-orang saat itu bertanya-tanya, kenapa tidak diputar di Indonesia.

"Tunggu dulu. Itu strategi juga bagaimana kemudian bisa masuk ke Indonesia lebih lancar. Bagaimana bisa masuk ke jaringan bioskop yang biasa, sebagaimana film-film yang lain. Habis ini kita mempunyai cara lain bagaimana mengedarkan dan memutar film ini seluas mungkin. Itu sangat tergantung dengan inisiatif banyak pihak," jelasnya.

Gunawan menyadari, film ini diinisiasi banyak pihak sehingga bisa menjadi seperti yang sekarang. Kalau tidak dengan kerja bakti dan gotong royong, mustahil film ini bisa terwujud.

"Saya terkaget-kaget ternyata bisa sangat antusias, ketika mendengar rencana pembuatan film ini animonya sudah luar biasa," ungkapnya.

Jadi film ini memang untuk menjawab ekspetasi keinginan mengenal Wiji Thukul yang memang seringkali hanya menemukan jalan kecil. Karena memang tidak banyak sumber data yang bisa menjadi rujukan.

"Film ini juga bukan akhir dari cita-cita bersama, film ini hanya satu bagian saja dari gerakan di mana kita merawat ingatan, menolak lupa. Bahwa ada persoalan masa lalu yang hingga kini belum selesai. Film ini hanya sebuah pancingan," pungkasnya.

PILIHAN EDITOR

(SR) Laporan: Darmadi Sasongko
  1. Seni
  2. Tokoh
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA