Sejumlah warga Kota Malang yang memiliki keterbatasan fisik turut antusias mengikuti simulasi Pilkada Serentak 2018.
Merdeka.com, Malang - Dengan penuh semangat Ahmad Jazuli (60) berjanji akan datang ke TPS guna menyalurkan aspirasi dalam pemilihan Wali Kota Malang dan Gubernur Jawa Timur, Kamis (27/6). Keterbatasan fisik tidak menyurutkan niat untuk berpartisipasi menentukan pemimpin lima tahun ke depan.
"Saya sudah hafal calonnya. Kalau yang Gubernur itu Bu Khofifah sama Pak Saiful. Kalau wali kota Bu Nanda, Abah Anton dan Pak Sutiaji. Insya Allah sudah (punya pilihan)," kata Ahmad Jazuli, seorang penyandang tuna netra di Malang, Jawa Timur, Selasa (26/6).
Jazuli merupakan warga Jalan Bantaran, Kelurahan Tulusrejo, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang. Besok rencananya dia akan mengajak salah satu anggota keluarganya untuk mengantarkan ke TPS.
"Bagi difabel seperti saya, tetap butuh pendamping, tapi saya berencana mengajak keluarga saja. Biar nanti tidak ragu-ragu," katanya.
Jazuli sudah paham cara pencoblosan setelah mengikuti sosialisasi untuk pemilih difabel yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Malang. Dia yakin tidak akan kesulitan saat pencoblosan di TPS.
"Insya Allah ini lebih mudah, dulu belum ada alatnya seperti ini. Insya Allah gampang. Insya Allah sudah paham," katanya.
KPU menyediakan alat bantu braille yang akan mempermudah kaum difabel dalam menyalurkan hak pilihnya. Alat bantu braille tersebut menyerupai map dengan lubang tempat mencoblos di setiap frame foto pasangan calon.
Kartu suara akan dimasukkan dalam alat bantu tersebut. Selanjutnya, pemilih difabel dapat menentukan pilihan dengan mencoblos sesuai dengan pilihan hatinya.
Untuk pemilihan gubernur Jawa Timur, karena calonnya hanya dua pasang maka lubang pencoblos pun disediakan dua buah, yakni kiri untuk pasangan nomor 1 dan kanan untuk pasangan nomor 2. Sementara untuk pemilihan walikota Malang, memiliki tiga lubang pencoblosan. Lubang kiri untuk pasangan nomor 1, lobang tengah untuk pasangan 2 dan lobang kanan untuk pasangan nomor 3.
Jazuli mengaku sudah beberapa kali mengikuti pemilihan atau pencoblosan. Tetapi baru tahun ini menggunakan alat bantu difabel. Sebelumnya, tanpa menggunakan alat sehingga yang mencoblos adalah petugas yang mendampinginya di TPS.
"Saya sebelumnya juga sudah pernah memilih, tapi waktu itu yang dijadikan pendamping memilih, tidak ada alatnya. Karena belum ada alatnya, waktu itu dicobloskan petugas," akunya.
"Sebenarnya saya bisa, pokoknya ditunjukkan saja. Saat itu petugasnya sendiri yang berinisiatif, ikut masuk. Insya Allah sesuai (keinginan), tapi tidak tahu. Semoga tidak terulang lagi seperti yang dahulu itu," katanya seraya tertawa.
Penyadang difabel lainnya, Supriyadi juga mengaku tidak sulit dengan peralatan yang disediakan KPU. Dia mendapatkan kemudahan untuk menentukan pilihannya.
"Tidak sulit, karena dibantu sosialisasi seperti ini, kita mengenal lokasi tempat mencoblos, tempatnya di mana. Kan ada alatnya," kata Warga Kelurahan Jatimulyo, Kecamatan Lowokwaru ini.
Menurut Supriyadi, tidak semua kaum difabel mau datang ke TPS. Dia menyarankan KPU datang ke rumah-rumah para penyandang difabel, apalagi yang kesulitan untuk datang ke TPS.
"Kalau bisa teman-teman difabel sebaiknya didatangi. Karena tidak semua difabel itu punya motivasi untuk hadir di TPS. Adik saya juga tuna netra, tetapi tidak punya kemauan untuk hadir ke TPS. Saya kurang tahu alasan pastinya," katanya.
Apalagi, kata Supriyadi, tidak semua difabel mendapatkan sosialisasi, padahal kemungkinan jumlahnya justru lebih banyak yang tidak mendapatkan sosialisasi. Supriyadi mengajak teman-temannya untuk berpartisipasi dengan memberikan hak suaranya ke TPS. Dia berjanji, jika tidak ada aral melintang akan datang ke TPS.
"Insya Allah datang, saya tidak pernah absen setiap ada pemilihan. Sudah mengenali calon-calonnya," ucapnya.