Meneladani sosok Hok Tek Cing Sien di kelenteng Eng An Kiong, sang Dewa Bumi yang bijaksana dan dicintai rakyat.
Merdeka.com, Malang - Keberadaan kelenteng Eng An Kiong di bilangan kota lama memang terlihat mencolok. Pertengahan Juli 2016 lalu, Kelenteng yang didirikan sejak tahun 1825 ini, menginjak usianya yang ke-191. Usia yang tak muda memang. Namun, selalu saja ada hal menarik untuk di simak dari Kelenteng ini. Salah satunya adalah tentang nilai spiritual yang tersimpan di balik sosok Dewa Bumi, yang berdiri gagah di altar induk Kelenteng Eng An Kiong.
Kelenteng Eng An Kiong dan Kwee Sam Hway
Menurut sejarah, kelenteng ini pertama kali didirikan pada tahun 1825. Pendirinya adalah Lt. Kwee Sam Hway, keturunan ke-7 dari seorang jenderal pada masa Dinasti Ming.
Kisah menuturkan, kakek Lt. Kwee Sam Hway adalah seorang kapiten yang terpaksa keluar dari Tiongkok. Saat itu, sang kapiten mendapat tekanan dari Dinasti Jing, sehingga terpaksa melarikan diri, dan akhirnya mendarat di Jepara. Perantauan membawa Letnan Kwee Sam Hway akhinya tiba di Malang.
Sebutan Liutenant atau Letnan yang melekat pada nama Kwee Sam Hway, adalah sebutan yang diberikan pada pemimpin masyarakat Tionghoa di Malang kala itu. Kwee Sam Hway menjabat sebagai pemimpin masyarakat Tiongkok pada tahun 1842-1863. Tahun 1865, Kwee Sam Hway meninggal dunia, sehingga pengurusan Kelenteng diserahkan kepada keturunannya.
Menengok sosok Sang Dewa Bumi yang bijaksana
Kelenteng Eng An Kiong merupakan kelenteng tri Dharma, yakni merupakan tempat peribadatan bagi penganut agama Ji (Khonghucu), Too (Tao), dan Sik (Buddha). Tak heran, jika kelenteng tertua di kota Malang ini seringkali mengadakan ritual, dan tak jarang memikat pengunjung untuk datang menyaksikannya.
Penamaan Eng An Kiong ternyata tak sembarangan. Eng An Kiong bermakna istana keselamatan dalam keabadian Tuhan. Berdirinya kelenteng ini merupakan persembahan kepada sang Dewa Bumi, Kongco Hok Tek Cing Sien.
Patung Kongco Hok Tek Cing Sien di kelenteng Eng An Kiong, diletakkan di altar ruang utama. Patung tersebut dibawa dari Tiongkok ke kota Malang, dengan menggunakan tandu kayu jati berlapis emas. Keberadaan tandu tersebut pun masih ada hingga kini.
Disebutkan, Hok Tek Cing Sien, adalah seseorang bernama Zhang Fu De, yang hidup di zaman Dinasti Zhou. Zhang Fu De yang pun dikenal dengan nama Thio Hok Tek, sejak kecil memang telah menunjukkan bakat sebagai orang pandai dan berhati mulia. Pada masa pemerintahan Kaisar Zhou Wu Wang,Thio Hok Tek menjabat sebagai Menteri yang mengurusi pemungutan pajak rakyat.
Thio Hok Tek dikenal sebagai sosok yang bijaksana dan tidak pernah memberatkan rakyat. Sehingga, dirinya pun sangat dicintai rakyatnya. Sayangnya, Thio Hok Tek wafat pada usia 102 tahun, dan harus meninggalkan rakyatnya.
Ironisnya, kedudukan Thio Hok Tek digantikan oleh Wei Chao, yang dikenal tamak dan kejam. Karena tak mengenal kasihan dalam memungut pajak, rakyat dibuat menderita olehnya. Lantaran tak sanggup menghadapi kezaliman Wei Chao, banyak rakyat yang memilih meninggalkan kampung halamannya.
Rakyat senantiasa mendamba kehadiran sosok Thio Hok Tek yang bijaksana. Dengan harapan tersebut, mereka pun memuja Thio Hok Tek sebagai tempat memohon perlindungan. Dari nama Thio Hok Tek inilah, kemudian muncul gelar Hok Tek Cin Sien, yang diyakini sebagai Dewa Bumi.