Khatib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH Yahya Cholil Staquf menilai wajar terjadinya perebutan suara dari kalangan santri.
Merdeka.com, Malang - Santri menjadi rebutan para pasangan yang bertarung dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Karena itu seorang santri harus menggunakan akalnya dalam menentukan pilihan yang tepat.
Khatib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH Yahya Cholil Staquf menilai wajar terjadinya perebutan suara dari kalangan santri. Santri harus dapat menentukan pilihannya dengan pertimbangan-pertimbangan yang masuk akal.
"Wajar to (jadi rebutan), lihat saja mana yang bisa dipercaya, mana yang lebih masuk akal dan baik kualitasnya. Itu pakai akal, masak santri ngawur, punya otak ya pakai otak. Tidak boleh jadi santri goblok, harus menggunakan otaknya," kata Yahya Cholil Staquf di Universitas Brawijaya Malang, Kamis (18/10).
Karena itu, Yahya mengajak untuk menghidupkan kembali tradisi intelektual para Santri Nusantara. Seorang santri harus 'sakti' dan berusaha sakti dengan berbagai riyadah agar spiritual jiwanya kokoh. Kekuatan rohani yang kokoh membuat orang tidak gampang terombang-ambing dipermainkan siapapun.
"Kita harus menghidupkan kembali tradisi intelektual santri nusantara," katanya.
Santri yang belajar dengan betul tidak akan memainkan dan dipermainkan oleh hoax atau asal copy paste. Harus menggunakan ilmunya dengan suasana tradisi berpikir yang diwariskan.
"Kalau masih ngawur tentu bukan santri namanya. Ikut-ikutan copas tanpa memikirkan, nggak pakai ilmu," tegasnya.
Yahya juga tidak setuju dengan istilah Santri yang seolah-olah hanya milik kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Karena santri sendiri milik semua orang, bahkan bukan hanya milik muslim saja. Karena padepokan-padepokan di masa lalu tempat orang 'nyantrik' yang dipimpin oleh resmi atau kyai dan lain sebagainya.
"Itu yang harus dibongkar, santri itu bukan cuma punya NU, seperti yang saya bilang tadi, santri itu soal tradisi intelektual Nusantara, milik semua orang, bahkan bukan hanya milik muslim saja. Asalkan dia menghidupi tradisi itu, elemen intelektual yang digabung elemen spiritual dan etos pergerakan sosial, ya itu santri," katanya.
"Kalau kita bicara tentang bicara peristiwa historis yang menjadi cantolan Hari santri, yaitu peristiwa 10 November, Resolusi Jihad dan sebagainya, itu adalah buah dari tradisi intelektual nusantara itu sendiri," jelasnya.
Kyai-kyai adalah para intelektual dan pemimpim intelektual yang memimpin umat memperjuangkan masa depan. Indonesia memiliki tradisi berpikir yang berkembang di lingkungan pesantren yang berbeda dengan di tempat lain.
"Ini di Indonesia begini di tempat lain banyak yang pinter 'sundul langit' tapi nggak bikin apa-apa. Rakyatnya pendeng (sengsara) yang penting dia masuk surga sendiri sudah selesai," katanya.
Sementara tokoh Muhammadiyah, Yuli Qodri menegaskan perjalanan Muhammadiyah tidak terlepas dari sejarah kehidupan santri. Sehingga istilah santri memang bukan hanya milik kalangan tertentu.
"Santri itu orang Indonesia yang mau merawat Indonesia, atau dengan kata lain mau merawat nusantara. Santri adalah yang ada di sini yang mempertahankan Indonesia. Orang yang tidak mau mempertahankan Indonesia itu bukan santri, suruh pergi dari sini," jelasnya.