1. MALANG
  2. GAYA HIDUP

Nasib bisnis tailor yang tinggal separuh napas

Walaupun sempat berjaya di masa lalu, bisnis tailor kini mulai tersingkir dan kalah dari bisnis pakaian jadi yang semakin murah.

Tailor Rieel. ©2016 Merdeka.com Reporter : Rizky Wahyu Permana | Jum'at, 11 November 2016 00:42

Merdeka.com, Malang - Sebelum membanjirnya bisnis pakaian jadi secara online seperti sekarang serta belum banyak berdiri pusat-pusat perbelanjaan yang menjual beragam pakaian jadi dengan harga serba murah, bisnis tailor atau penjahit merupakan salah satu usaha yang paling banyak dicari untuk membuat pakaian berkualitas. Baik dengan harga yang cukup murah ataupun yang mematok tarif cukup mahal, jasa ini merupakan pilihan utama untuk mendapat pakaian berkualitas.

Namun sayangnya masa jaya dari bisnis ini telah berlalu tersapu beragam merek yang bermunculan bersama pusat-pusat perbelanjaan yang nyaman dan dilengkapi pendingin udara. Seakan belum cukup telak menghantam bisnis ini, kemudian mulai muncul juga toko pakaian daring (online) yang sebagian barangnya didapat secara impor.

Wahyanto (59), pemilik dari Tailor Rieel yang telah berdiri sejak tahun 50-an mengatakan bahwa pilihan banyak orang untuk membeli pakaian jadi merupakan penyebab menurunnya bisnis tailor ini.

"Sekarang jumlah pelanggan yang ada mungkin tidak ada separuh dari pada masa lalu," jelas Wahyanto.

Semakin menariknya model pakaian jadi serta harganya yang cukup murah rupanya menjadi alasan bagi banyak orang sekarang untuk membeli pakaian jadi. Selain itu kemudahan dalam membeli pakaian secara daring juga turut mendorong banyak orang terutama anak muda dalam membeli dan memesan pakaian melalui penjahit.

"Kalau buat saya ya lebih murah kalau beli pakaian jadi di mall atau lewat internet. Selain itu pilihannya juga cukup banyak," jelas Rizal Hanafi (24).

Rizal mengingat bahwa selama seumur hidup, mungkin dia hanya sekali saja ke penjahit untuk menjahitkan baju sekolahnya.

"Ya kan soalnya kain dapat dari sekolah jadi ya terpaksa harus njahitin dan nggak bisa beli jadi," terangnya.

Namun tentu saja tidak semua generasi muda meninggalkan penjahit untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam memperoleh pakaian tersebut. Dwi Zain (25), masih secara rutin pergi ke penjahit untuk memesan pakaian.

"Biasanya tiap dua bulan sekali ke penjahit untuk memesan pakaian," terangnya.

"Buat saya lebih murah kalau ke penjahit daripada beli baju jadi. Selain itu pakaiannya juga lebih enak untuk dipakai," sambung Zain.

Dengan berat badan 120 kg dan tinggi 170 cm, Zain memang kerap kali kesulitan dalam membeli pakaian jadi di pusat perbelanjaan. Jika pun ada dengan ukuran yang cocok baginya, maka biasanya harga yang dipasang masih cukup mahal dan lebih murah untuk pergi ke penjahit.

"Ya mungkin untuk ukuran tubuh yang tidak standard seperti saya, lebih murah untuk ke penjahit," jelas Zain.

Tentang hubungan tubuh dengan ukuran yang tidak standard dan penjahit ini juga diamini oleh Wahyanto. Dijelaskannya bahwa saat ini sebagian dari pelanggannya adalah orang-orang yang tidak memiliki tubuh standard.

"Saat ini konsumennya sudah berubah dari zaman dulu, sekarang selain dari pegawai dan pelanggan lama, sebagian yang njahitin ya orang yang tubuh-tubuhnya tidak standard itu," terang Wahyanto.

Walaupun sudah babak belur dihantam oleh berbagai macam hal namun tampaknya untuk saat ini bisnis tailor masih dapat terus berjalan walaupun hanya setengah napas.

PILIHAN EDITOR

(RWP)
  1. Pojok Ngalam
  2. Malang dalam Cerita
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA