Menengok sudut kota Malang, terlihat beberapa pandai besi yang masih beraktivitas. Keberadaannya kini seolah 'hidup segan mati tak mau'.
Merdeka.com, Malang - Menengok ke sudut kota Malang, terlihat beberapa pandai besi yang masih beraktivitas. Meskipun, kini keberadaannya seolah tergambar dengan ungkapan 'hidup segan mati tak mau'. Mengingat, keberadaan para perajin cangkul dan alat pertanian alias pandai besi, semakin tersisihkan zaman yang serba modern dan industrialisasi. Karya mereka mulai tergilas oleh barang pabrikan yang dapat diproduksi massal, masif dan lebih murah
Mulyadi, adalah salah satu diantara para pandai besi tersebut. Berdiri dengan usaha pandai besi 'Penerimane Pandum' miliknya, pria 54 tahun itu hanya melakukan produksi ketika pesanan datang. Barang yang diproduksi pun hanya dalam jumlah satuan. Pelanggan Mulyadi sebagian besar adalah para petani di sekitar wilayahnya. Pandai besi 'Penerimane Pandum' tersebut berlokasi di jalan Mayjend Sungkono, Kedung Kandang, Kota Malang.
Kepasrahan Mulyadi tersirat dalam nama 'Penerimane Pandum', karena kini dirinya sudah tak mampu memproduksi cangkul lagi. Ini lantaran dibutuhkan biaya yang tak sedikit untuk produksi dan pemasaran hasil produksi.
"Bisa saja membuat cangkul, tapi paling tidak butuh empat tenaga. Membuat cangkul itu berat, tenaga pemukulnya harus kuat, memukulnya harus cepat," kata Mulyadi di Kedung Kandang, Kota Malang, Sabtu (12/11), seperti dilansir dari merdeka.com.
Tak jauh dari lokasi 'Penerimane Pandum', terlihat Muhammad Shoheh, adik Mulyadi yang beroperasi di pande warisan sang nenek moyang. Nenek Mulyadi, Mbah Sumo mendirikan pande sejak 1913
Beberapa anak dan cucu Mbah Sumo secara turun-temurun menjadi seorang pandai besi, temasuk Mulyadi dan Muhammad Shoheh. Tetapi baik Mulyadi maupun Muhammad Shoheh sudah tidak membuat cangkul lagi. Keduanya membuat aneka peralatan berbahan besi dan paling banyak dilayani belakangan ini adalah sabit atau clurit dan pisau. Selain itu, yang paling rutin adalah service dan penyepuhan cangkul petani.
"Sudah tidak membuat cangkul lagi, hanya melayani servis dan penyepuhan saja," kata Mulyadi.
Saat petani merasa cangkulnya sudah tak tajam lagi, maka mereka akan segera menservisnya (memperbaiki). Saat diperbaiki, kata Mulyadi, baja akan ditambahkan pada ujung-ujung cangkul, agar kembali tajam.
Tak butuh biaya besar untuk jasa tersebut. Jasa perbaikan cangkul ditarif Rp 20 ribu, atau sesuai dengan jumlah baja atau besi yang ditambahkan. Tak harus menunggu rusak. Kata Mulyadi, petani pun terkadang ingin mempertajam cangkul yang baru saja dibelinya.
"Biasanya petani pengarap itu alatnya bagus-bagus. Beli pacul yang harga Rp 150 ribu, kemudian disepuhkan. Beberapa juga pasrah untuk sekalian dibelikan cangkulnya," katanya.
Mulyadi biasanya menerima sekitar 8 sampai 10 orang yang memperbaiki cangkul, tiap bulannya. Sementara, jumlah orang yang membuat sabit atau celurit masih mendominasi.
Kata Mulyadi, cangkul maupun sabit yang di pasaran dibuat dengan lebih banyak unsur besinya. Sehingga harganya lebih murah berkisar antara Rp 35 ribu sampai Rp 40 ribu, tetapi saat dipakai sering 'mulet' atau tidak lurus.
Penyepuhan dilakukan untuk menambah unsur baja ke dalam besinya. Caranya dibakar dengan suhu tinggi, kemudian besi dan baja dilebur dengan dipukul-pukul secara berulang-ulang.
"Kalau untuk membuat sabit cukup 2 jam. Harga bajanya Rp 25 ribu per batang. Besi putihnya Rp 100 ribu per kilogram. Harga sabitnya dijual Rp 100 ribu," katanya.
Sementara itu, karyawan Mulyadi, Purnomo mengungkapkan bahwa untuk membuat cangkul butuh biaya besar, tetapi belum tentu laku di pasaran. Kebanyakan orang akan memilih cangkul pasaran yang lebih murah, apalagi sekadar untuk bersih-bersih rumah.
"Tidak butuh cangkul yang bagus, cukup membeli dengan harga Rp 50 ribu," katanya.
Selain itu, bahan besi dan baja yang mahal bahkan sulit didapatkan di pasaran. Mereka biasanya memanfaatkan kikir (pengasah) dengan bahan baja murni digunakan sebagai bahan untuk menyepuh.
Baik Mulyadi maupun Purnomo mengaku tidak pernah lagi terpikir untuk memproduksi cangkul. Karena dirasa sudah tidak mungkin untuk bersaing dengan cangkul di pasaran buatan pabrik, bahkan impor dari China.
Keduanya juga mengaku tidak memiliki lagi penerus untuk melanjutkan ketrampilan sebagai pandai besi. Anak-anak mereka sudah memilih mencari nafkah di bidang lain.