Sebuah sajian tentang lika-liku Bentor di jalanan kota Malang.
Merdeka.com, Malang - Sudah menjadi rahasia umum, keberadaan bentor di jalanan kota Malang, layaknya buah simalakama yang hingga kini belum mendapat kepastian. Dipandang dari segi regulasi, memang belum ada peraturan yang secara khusus mengatur spesifikasi maupun sertifikasi bentor. Meski begitu, baik pemerintah kota (Pemkot) maupun pihak kepolisian tak bisa bertindak tegas untuk hal tersebut. Alasannya tentu saja dilematis, karena kehadiran bentor sendiri merupakan sebuah solusi yang muncul untuk mengatasi permasalahan pelik para penarik becak.
Jauh dari persoalan regulasi, tak dipungkiri, kehadiran becak di tengah hiruk pikuk kota Malang sudah mulai tergerus zaman. Bagaimana tidak, berbagai jenis kendaraan bermotor pribadi menjadi sebuah jalan yang dipilih masyarakat, yang pun digunakan untuk memenuhi tuntutan zaman. Sebuah zaman yang menuntut segala bidang bergerak dengan efektif dan efisien.
Tak bisa menutup mata, di luar sana pun fakta menunjukkan bahwa kendaraan umum sudah mulai kehilangan penggemar. Sebut saja, becak, mikrolet atau angkutan kota (Angkot), dan bentor yang mulai menggantikan becak.
Menoleh pada bentor, kendaraan becak bermesin ini di satu pihak berusaha menjawab zaman yang menuntut untuk terus bergerak cepat. Sayangnya, solusi yang digerakkan memberi hasil yang mengecewakan. Dilihat dari segi bentuk, bentor ini pun sangat serupa dengan becak. Hanya saja, jika becak digerakkan dengan kayuhan sepeda, bentor menggunakan mesin motor tua untuk bergerak.
Perbedaan sumber tenaga tersebut tentu menjadi salah satu alasan utama, si lek penarik becak beralih menggunakan bentor. Berbagai alasan pun dilontarkan, mulai dari alasan kesehatan, hingga faktor penghasilan. Sayangnya, ekspektasi si lek penarik becak terhadap bentor, ternyata tidak berjalan seperti yang di harapkan.
Setidaknya, alasan tersebut yang muncul dari dua penarik becak di kawasan Sukun, kota Malang, Syafi'i dan Martoha. Keduanya, memang belum lama menarik bentor, namun cerita mereka terkait Bentor menjadi fakta di balik Bentor yang menarik untuk disimak.
Syafi'i merupakan salah satyu diantara para si lek penarik becak yang beralih menggunakan Bentor. Alasannya sederhana, yakni faktor kesehatan. Syafi'i telah melakoni profesi sebagai tukang becak sejak dirinya, berusia 15 tahun hingga dirinya berusia 33 tahun, dua tahun silam. Maklum, saat dirinya berusia 15 tahun, mengemudikan becak merupakan salah satu pekerjaan yang menguntungkan kala itu.
"Sudah satu tahun menggunakan Bentor, sebelumnya 15 tahun menggunakan becak," tutur Syafi'i.
Sekitar 12 tahun menjalani profesi tersebut, penggemar becak di bilangan jalanan kota Malang mulai menurun, seiring waktu. Syafi'i yang mengaku mengalami sakit pada bagian lutut, kemudian memilih untuk beralih menggunakan Bentor. Menurut Syafi'i, sakit pada lututnya tersebut dikarenakan kayuhan becak membutuhkan pergerakan otot kaki yang kuat.
"Saking gak kuat, mbak. Kadang-kadang kalo nyurung di Kasin itu, penumpangnya gak turun. Orang dua, kalo gemuk-gemuk gak turun, kadang-kadang sampai sakit kakinya", keluh Syafi'i.
Ketika ditanya soal penghasilan, Syafi'i tak membenarkan jika Bentor bisa membantu dirinya menambah penghasilan. penghasilan Bentor, tak jauh berbeda dari penghasilannya, ketika masih menarik becak. Syafi'i mengaku, sehari hanya mengankut satu hingga tiga penumpang.Bahkan, tak jarang pula jika seharian pun tak memperoleh penumpang.
"Kalau ditanya numut (narik) Bentor uangnya banyak, ya ndak, mbak. Mulai kemaren, sepi mbak. Kadang-kadang Rp 5 ribu-Rp 10 ribu sehari. Kadang-kadang malah gak oleh pelaris, ya pulang. Saking ndak punya penggawean lagi mbak," cerita pria berusia 35 tahun ini.
Tak jauh berbeda dengan kondisi Syafi'i, Martoha pun mengucurkan kesah yang serupa. Tak seperti Syafi'i, Martoha sebelumnya pernah menjajal beberapa jenis pekerjaan, termasuk menarik becak dan mikrolet. Berdasarkan pengalamannya tersebut, baik menjadi supir mikrolet maupun menarik becak, tak memberikan keuntungan yang berarti bagi dirinya.
Saat menjadi supir mikrolet, tuntutan setoran dan pendapatan harian mikrolet sangat tak berimbang. Sehari, kata Martoha, dirinya hanya mendapatkan pendapatan Rp 20 ribu sebagai supir. Mikrolet, rata-rata menghasilkan Rp 200 ribu perhari. Namun, penghasilan tersebut masih harus dikurangi dengan setoran kepada pemilik mikrolet, bensin, dan uang makan. Sisanya, barulah menjadi penghasilan bersih Martoha.
"Mikrolet itu, kalo sehari dapet Rp 200 ribu, penghasilannya cuman 20 ribu mbak. Bensinnya Rp 80 ribu, setorannya Rp 80 ribu, belum makannya mbak. Kan gak mungkin disuruh kerja terus tapi gak makan. Setiap hari emang kan cuman 20 ribu," keluh Martoha.
Martoha pun pernah mencecap pengalaman menjadi penarik becak. Hingga akhirnya, dirinya pun memilih untuk beralih menggunakan becak. Menurut Martoha, pendapatan menggunakan bentor masih terbilang lebih baik dibandingkan dengan menjadi supir mikrolet. Meski begitu, Martoha menyadari tak ada hal yang menjanjikan dari seorang pengendara Bentor.
"Bawa ini (bentor), ya sekali dua kali, kebanyakan nganggur. Sekarang kan banyak sepeda mbak. saya menyadari. Rugi mbak megang ini (Bentor), sungguh rugi", tutur pria dengan enam anak ini.
Baik, Syafi'i maupun Martoha telah menunjukkan sebuah fakta miris terkait dengan keberadaan Bentor. Di luar regulasi yang menantang, para pengendara Bentore ternyata menghadapi fakta lain yang lebih mengiris, terkait dengan penghasilan yang tak berupa. Tak memiliki perubahan yang berarti, terkait penghasilan, tak mengapa jika kita menyebut Bentor sebagai sebuah solusi jalan di tempat, bukan?