Selang tujuh tahun, pada 1868, Untung Surapati menggunakan Malang sebagai basis perlawanannya pada koalisi Belanda dan Mataram. Pada saat itu, sejumlah bangsawan dan tokoh dari Jawa juga mendukung Surapati dalam mempertahankan diri dari gempuran lawan tersebut.
Bahkan Malang sempat menjadi basis perlawanan yang cukup kuat bagi pendudukan Belanda dalam waktu yang sangat lama yaitu 60 tahun. Sejak 1706 hingga 1767, Malang merupakan daerah yang tak mau tunduk pada Belanda dan menjadi benteng pertahanan. Bahkan setelah kota ini diduduki Belanda masih ada perlawanan sporadis yang dilakukan di beberapa tempat.
Berselang ratusan tahun kemudian, perlawanan dan pemberontakan rakyat Malang mulai muncul kembali. Pada tahun 1947 ketika Belanda melancarkan agresi militer I, para pemuda dan tentara di Malang tidak mau menyerah dan kalah begitu saja. Bahkan perlawanan yang begitu kuat menjadikan legenda mengenai perlawanan para tentara pelajar yang bergabung dalam TRIP.
Namun kuatnya kekuatan militer Belanda menyebabkan akhirnya para pejuang itu harus menyerahkan kota Malang ini. Tentu saja mereka tak mau menyerahkannya begitu saja, oleh karena itu lah digunakan taktik bumi hangus yang membakar banyak bangunan di kota Malang terutama yang berada di lokasi strategis termasuk Balaikota.
Setelah sudah merdeka dan meraih kedaulatan, bukan berarti masyarakat terutama pemuda di Malang tidak menunjukkan pemberontakannya. Hanya saja kali ini diwujudkan pada hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan. Pada tahun 1970-an, kota Malang merupakan salah satu dari barometer musik rock yang menjadi salah satu simbol perlawanan anak muda pada masa itu.
Hal yang sama juga diduplikasi oleh angkatan 90-an yang menjadikan warna musik di Malang lebih keras dengan pergerakan musik Metal dan Hardcore yang masih bertahan hingga saat ini. Namun pada belakangan ini, pemberontakan yang muncul dari masyarakat Malang mengalami sedikit perubahan bentuk.
Saat ini di Malang tengah gencar untuk mengembalikan kebudayaan kampung dan ruang-ruangnya sebagai jati dirinya. Pemberontakan mulai dilakukan dengan menolak berbagai stigma dan cap mengenai kampung dan mengembalikannya sebagai jati diri masyarakat.
Dalam rentang tahun yang cukup panjang tersebut, Malang selalu menjadi salah satu titik pemberontakan. Mulai dari pemberontakan fisik hingga dalam bentuk budaya, Malang seakan tak mau diam dan tunduk begitu saja, hal ini lah yang menjadikan julukan Malang sebagai kota para pemberontak sebagai sebuah hal yang tak dapat disanggah.