Kolam renang Zwembad atau biasa disebut Slembat sempat bertahan selama puluhan tahun menjadi primadona bagi anak-anak di kota Malang.
Merdeka.com, Malang - "Li, sumuk-sumuk ngene enake nglanggi yo?! (Li, panas-panas begini enaknya berenang ya?!)"
"Oyi wis Plo, nang endi enake? Mendit a? (Betul juga Plo, di mana enaknya? Mendit?)"
"Ojok Li, kadohen lek nang kono. Nang Slembat ae cidek (Jangan Li, terlalu jauh jika ke sana. Ke Slembat saja dekat)"
"Wah masuk iku, aku yo pingin njajan bakso ndik kono (Wah masuk itu, aku juga ingin jajan bakso di sana)"
Bagi banyak orang yang tumbuh besar pada dekade 1990 ke atas terutama di kota Malang, Zwembad atau biasa disebut Slembat merupakan salah satu tujuan utama untuk berenang. Berbagai kelebihan yang dimiliki oleh tempat berenang ini adalah karena lokasinya yang mudah dijangkau dan terletak di tengah kota serta harga tiket masuknya yang murah.
Mengingat kedua hal tersebut, kolam renang ini memang menjadi tujuan utama bagi anak sekolah baik pada hari libur atau hari sekolah. Di hari sekolah, biasanya banyak anak yang berenang selepas jam belajar usai atau justru beramai-ramai dengan sekolah melakukan kegiatan olahraga di Zwembad atau juga ekstrakurikuler.
Akhir 90-an hingga pertengahan 2000-an merupakan saat-saat terakhir dari kejayaan kolam renang yang dibangun di Hindia Belanda ini. Hampir seluruh orang yang menghabiskan masa anak-anak di kota Malang pernah menginjakkan kaki dan bermain air di kolam renang ini.
Indra Cahya, salah seorang editor media daring di Malang masih ingat mengenai saat-saat sekitar tahun 2000-an awal ketika mengunjungi Slembat ini.
"Yang paling berkesan itu adalah saking ramenya, berenang bisa nubruk satu sama lain," Ujar Indra.
Popularitas Slembat pada masa itu bagi anak-anak sekolah di Malang memang sulit tertandingi. Selain itu akses yang masih sulit ke tempat renang lain yang rata-rata berada di daerah pinggiran kota membuat Slembat menjadi tujuan utama. Selain itu hal lain yang membuatnya selalu ramai adalah banyaknya anak les yang belajar di kolam renang ini.
Selain kolam renangnya yang besar, segar dan selalu penuh dengan perenang ini, sebenarnya ada hal lain yang sering menjadi idaman ketika mengunjungi Slembat. Hadirnya penjual gorengan dan bakso di pinggir kolam renang ini seakan tak dapat dilepaskan dari ingatan dan juga membuat dua hal tersebut terus dikenang.
Walaupun pada hari-hari akhir masa jayanya kolam renang ini identik dengan kesan murah dan merakyat, namun pada masa awal pembangunannya, kesan yang muncul jauh dari dua hal tersebut. Kolam renang ini dibangun bersamaan dengan kompleks olahraga Gajayana pada sekitar tahun 1930-an.
Kompleks olahraga yang ada di Malang ini pada saat itu sempat dianggap sebagai yang terbaik di Hindia Belanda. Pada saat itu, kolam renang atau Zwembad dalam bahasa Belanda ini lebih banyak digunakan oleh masyarakat Eropa serta yang terpandang lainnya untuk memnuhi keinginan mereka berenang di Malang.
Usia yang cukup tua ini hingga sebelum dirobohkan, masih terdapat bekas bangunan buatan Hindia Belanda pada tembok-tembok dari Slembat ini. Ketika dibangun pertama kali, hanya ada satu kolam di Slembat namun selanjutnya terus dilakukan perbaikan dan renovasi hingga akhirnya ada tiga kolam saja.
Sayangnya, walaupun banyak nilai sejarah yang terkandung di kolam renang ini, namun karena pembangunan daerah sekitar kompleks stadion Gajayana, Slembat akhirnya diratakan dengan tanah. Kini sebagai gantinya dibangun sebuah kolam renang lain di wilayah yang sama, namun tentu saja nilai sejarah yang dimiliki Slembat sudah hilang bersamaan dengan ratanya kolam renang tua tersebut.