Menyimak kata Mahesa soal film, mulai dari karya hingga sulitnya menghadirkan ruang pemutaran film alternatif di tengah-tengah masyarakat Malang.
Merdeka.com, Malang - Mahesa Desaga, namanya mulai melambung pasca sebuah film pendek berjudul "Jumprit Singit" terseret dalam kompetisi maupun ekshibisi berbagai festival film, baik nasional maupun internasional. Baru-baru ini saja, Mahesa berhasil memenangkan Festival Sinema Australia Indonesia (FSAI). Sebagai hadiah, ia diterbangkan ke Melbourne, untuk menghadiri Melbourne International Film Festival (MIFF).
Memulai karya pertamanya sejak duduk di bangku kuliah, Mahesa hingga kini telah menelurkan beberapa film pendek yang berjalan di jalur alternatif. Sebut saja, Koma, Lensa, Goresan Kanvas, Sekolah Layar Kaca, Jumprit Singit, Kremi, dan Nunggu Teka.
Tentang Mahesa Desaga
Menengok jauh ke belakang, pria 27 tahun ini berkenalan dengan dunia film melalui cara yang unik. Kata Mahesa, bisa dibilang dirinya berkenalan dengan film sejak dirinya ada dalam kandungan. Saat mengandung, sang Ibunda, Sri Maryani sempat 'ngidam' menonton film di bioskop.
"Aku kan kalo di keluarga besar itu dipanggilnya Dede. Konon ceritanya, mamaku waktu hamil, nontonnya kepingin ke bioskop. Nah, saat itu kan eranya Catatan Si Boy. Karakter si Boy kan dimainkan sama Dede Yusuf. Akhirnya mama pengen anaknya dipanggil Dede, walaupun gak tahu ntar yang lahir cewek atau cowok, yang penting Dede," cerita Mahesa.
Mahesa menilai, itulah masa awal perkenalannya dengan film. Mahesa sendiri menikmati film pertamanya di bioskop saat berusia empat tahun. Semenjak itu, ia mengaku sangat tertarik dengan film. "Sejak itu, senang ke bioskop, setiap lewat bioskop aja udah seneng, kalo dulu kan masih ada poster yang dilukis gitu. Setiap lewat situ bener-bener excited. Jadi emang suka menonton," kenangnya.
Memasuki masa kuliah, Mahesa memulai perkenalannya dengan dunia balik layar alias pembuatan film. Semenjak tahun pertama di Perguruan Tinggi, alumnus FISIP Universitas Brawijaya ini,sudah aktif di salah satu komunitas film di kampusnya. Bersama dengan komunitas tersebut, ia mulai menggarap film pertamanya yang berjudul Koma, tepatnya pada 2008 lalu.
"Koma itu cerita tentang perempuan dengan identitasnya sebagai perempuan. Ada yang sangat busy, sangat feminis, dan berbicara tentang seputaran itu," tutur Mahesa.
Tahun selanjutnya, Mahesa muda semakin tertarik pada bidang pembuatan film, khususnya sebagai sutradara. Pasca memproduksi Koma, ia dan rekan-rekannya menggarap beberapa judul lain, seperti Lensa, Goresan Kanvas, dan Sekolah Layar Kaca. Penggarapan film-film pendek tersebut menggiring Mahesa pada keputusan untuk menekuni bidang tersebut.
"Ternyata, bikin film menyenangkan dan terus bikin film. Pas semester 5 itu akhirnya memilih, 'kayaknya aku hidup di film aja deh'. Karena dengan film aku bisa ngomong banyak hal," tutur Mahesa.