Menengok kisah di balik megahnya gedung Sarinah. Mulai dari rumah dinas bupati hingga jadi pusat perbelanjaan modern.
Merdeka.com, Malang - Tak dipungkiri, nama Sarinah di kota Malang, kini lebih dikenal sebagai salah satu pusat perbelanjaan modern tertua. Pada masa tahun 1970-an hingga 1990-an, Sarinah sempat menjadi 'penguasa' pusat perbelanjaan modern di kota Malang, sebelum akhirnya tergempur oleh pusat-pusat perbelanjaan modern lainnya, di awal tahun 2000-an.
Menengok jauh ke belakang, gedung yang kini dikenal dengan Sarinah, menyimpan kisah sejarah yang mengiringi masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Gedung yang kini tampak megah dengan polesan arsitektur modern itu, merupakan saksi bisu pergerakan para tokoh besar Komine Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dalam menyusun strategi yang menjadi agenda perjuangan bangsa, pada tahun 1947.
Gedung Societiet Concordia
Jauh sebelum gedung Sarinah menjadi sebuah bangunan modern seperti saat ini, berdiri sebuah bangunan bergaya aritektur indis yang dikenal dengan nama Gedung Societiet Concordia. Tahun 1820-1839, gedung tersebut merupakan rumah dinas Bupati Malang pertama, yakni Raden Toemenggoeng Notodiningrat. Setelah Bupati wafat (1839), gedung tersebut tidak digunakan lagi.
Sepeninggal Raden Notodiningrat, gedung tak terpakai itu kemudian dikuasai oleh Belanda, dan dijadikan sebagai tempat berkumpul. Gedung tersebut kemudian dikenal dengan nama gedung Societiet Concordia. Gedung tersebut merupakan tempat berkumpul pertama warga Belanda, yang kala itu mulai keluar dari benteng pertahanannya di Celaket.
Gedung yang dibangun sebelum tahun 1900 itu, memiliki gaya arsitektur Indische Empire, dengan pilar-pilar yang menyerupai bangunan Yunani Kuno. Kata 'Indis' sebenarnya berasal dari bahasa Belanda, Nederlansch Indie yang berarti Hindia Belanda. Mengutip dari tulisan Djoko Soekiman, penggunaan istilah 'Indis' ini sebenarnya berkaitan dengan kebudayaan dan gaya masyarakat pendukungnya yang terbentuk semasa kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.
Saksi bisu yang hilang
Tak hanya menjadi bukti keberadaan budaya Indis, gedung Sarinah dahulunya menjadi sebuah saksi bisu berlangsungnya Rapat Akbar KNIP, yang menjadi cikal bakal dibentuknya DPR RI yang pertama. Rapat akbar tersebut berlangsung pada 25 Februari - 5 Maret 1947.
Membahas strategi yang menjadi agenda perjuangan mempertahankan kemerdekaan, sederetan tokoh besar datang ke Malang untuk menggelar rapat akbar KNIP. Para tokoh tersebut antara lain, Soekarno, Mohammad Hatta, Edward Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, Soetomo, Panglima Soedirman, Bung Tomo, dan para tokoh besar dari berbagai negara di dunia. Rapat tersebut merupakan cikal bakal dibentuknya dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang pertama.
Sayangnya, bangunan bersejarah itu telah dibumihanguskan sebagai sebuah strategi gerilya kala itu. Langkah itu diambil dengan tujuan untuk menghindari tentara Belanda masuk kembali ke Malang, pada Agresi Militer Belanda tahun 1947.
Sarinah, sosok kharismatik di balik Soekarno
Pada tahun 1970, di lokasi yang sama dengan gedung Societiet Concordia yang telah hangus, dibangun sebuah gedung anyar yang dijadikan sebagai gedung Sarinah. Yakni, sebuah pusat perbelanjaan modern pertama di kota Malang.
Penamaan Sarinah untuk bangunan anyar ternyata tak sembarangan. Sarinah, sebenarnya nama sosok wanita yang disebut-sebut memiliki kedekatan dengan Soekarno, presiden pertama RI. Sarinah adalah pengasuh Soekarno saat tinggal di Tulungagung.
Sembari mengasuh Soekarno kecil, Sarinah seringkali menyelipkan nasihat, yang kemudian menjadi landasan pemikiran Soekarno. Terutama tentang pentingnya peran perempuan dalam pergerakan kemerdekaan. Penghargaan terhadap Sarinah kemudian diabadikan menjadi sebuah nama pusat perbelanjaan modern, yang digagas oleh Soekarno sendiri.