Ang Hien Hoo merupakan kelompok wayang kulit asli Malang yang dimainkan warga Tionghoa. Bung Karno bahkan sempat mengundang mereka ke Jakarta.
Merdeka.com, Malang - Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Peribahasa tersebut mungkin sangat cocok dilekatkan dengan warang orang Ang Hien Hoo yang berasal dari kota Malang. Bagaimana tidak, dari namanya saja sudah terlihat perbedaan dari kelompok wayang orang lain yang cenderung berasal dari suku Jawa, wayang orang ini sebagian besar diikuti dan dimainkan oleh masyarakat keturunan Tionghoa yang ada di Malang.
Untuk mengingat kembali mengenai kelompok Ang Hien Hoo ini, kita harus memutar kembali ingatan dan kompas waktu kembali ke puluhan tahun silam. Ang Hien Hoo bermula dari organisasi sosial bidang kematian di jalan Laksamana Martadinata 70 kota Malang yang bernama sama dan kini berubah nama menjadi Panca Budi.
Kelompok wayang ini sendiri bermula dari organisasi tersebut dan akhirnya menghimpun diri untuk berlatih dan mulai dibentuk pada tahun 1957. Pada saat itu, kelompok seni tersebut pada awalnya hanya memainkan alat musik tradisional Jawa secara bersama-sama dan masih menyewa. Baru kemudian akhirnya musik mulai dilengkapi dengan tarian dan tembang hingga akhirnya menjadi wayang orang.
Pada waktu itu, latihan rutin diselenggarakan di aula gedung perkumpulan sosial Ang Hien Hoo. Kelompok ini juga kerap kali melakukan pentar yang menjadi hiburan dan banyak digemari oleh masyarakat di Malang. Satu hal yang membedakannya dari kelompok wayang orang lain adalah karena berawal dari organisasi sosial, kelompok ini memang tak dibentuk untuk mencari keuntungan.
Pada masa jayanya, jumlah pemain dari kelompok Ang Hien Hoo ini mencapai 90 orang. Hampir semua anggota dari kelompok wayang orang ini berasal dari warga etnis Tionghoa. Hal ini cukup unik karena kesenian yang dipentaskan sesungguhnya adalah kesenian Jawa.
Kelompok wayang orang dengan asal anggota yang cukup unik ini rupanya terkenal hingga ke telinga Presiden Sukarno. Pada tahun 1962, Presiden Sukarno mengundang wayang orang Ang Hien Hoo untuk tampil di Istana Merdeka dan mengapresiasi kelompok ini karena penampilan mereka yang bagus dan kemauan untuk meneruskan kesenian lokal
Walaupun sebagian besar anggota dan pemainnya beretnis Tionghoa namun sejak kecil mereka telah mengenal budaya Jawa dengan baik karena keseharian mereka. Berbagai musik, tarian, serta tembang Jawa mampu dibawakan oleh kelompok wayang orang ini dengan baik sehingga membuat penampilan mereka menarik dan begitu hidup.
Sayangnya kelompok wayang orang ini tidak bertahan lama, konflik negara di tahun 1965 telah mengakibatkan ketua Ang Hien Hoo waktu itu Siauw Giok Bie menjadi terseret. Konflik itu mengakibatkan Ang Hien Hoo berganti nama menjadi Panca Budhi dan memaksa sejumlah kesenian tradisional jadi menghilang dan tak ditampilkan.
Tragedi 1965 telah menyebabkan nama organisasi Tionghoa begitu dihindari dan budaya-budanyanya tidak lagi ditampilkan. Bahkan tak hanya budaya Tionghoa saja, budaya jawa yang dimainkan masyarakat Tionghoa seperti wayang orang Ang Hien Hoo juga jadi dihindari karena kesenian rakyat dianggap erat hubungannya dengan faksi tertentu.
Kini Ang Hien Hoo adalah bagian dari cerita masa silam mengenai bagaimana upaya masyarakat Tionghoa di Malang dapat menjadi lebih "Jawa" dibanding orang asli ketika berkesenian. Saat besarnya sentimen negatif yang muncul antar etnis seperti ini, Ang Hien Hoo seharusnya mampu menjadi pengingat mengenai identitas masyarakat Indonesia sesungguhnya yang saling melengkapi.