Lokasi tiga rumah ibadah beda agama yang hidup rukun di kota Malang, pun memikat decak kagum Dubes Australia, Paul Grigson.
Merdeka.com, Malang - Sudah bukan cerita baru memang. Lokasi bangunan Masjid Jamik, Gereja GBIP Immanuel dan Gereja Hati Kudus Yesus yang berdekatan menjadi sebuah sorotan yang menarik. Keberadaan tiga rumah ibadah beda agama yang berdampingan dengan rukun tersebut, menyiratkan sebuah pesan tentang toleransi antar umat beragama yang patut untuk disimak.
Masyarakat kota Malang sebagian besar memeluk agama Islam. Sebagai pusat rumah ibadah umat Islam di kota Malang, jemaah masjid Jamik seringkali membludak, terutama saat salat Hari Raya dilaksanakan. Kapasitas masjid yang terbatas, membuat sebagian jemaah harus menggelar sajadah di luar masjid. Melihat kondisi tersebut, pihak gereja sengaja meminjamkan halamannya untuk para jemaah yang kebetulan tak kebagian tempat dalam masjid. Sajadah-sajadah pun dibeber di halaman gereja GBIP Immanuel dan Gereja Hati Kudus Yesus.
Takmir Masjid Jamik Malang, Zainudin Abdul Mukhid mengungkapkan, tradisi tersebut terbangun secara turun-temurun dan sudah menjadi simbol toleransi. Hal tersebut disampaikan Zainudin kepada Duta Besar (Dubes) Australia, Paul Grigson, saat mengunjungi masjid Jamik Malang, Rabu (23/11).
"Pergaulan di Malang juga indah, berbagai komunitas ada, bisa hidup bersama. Komunitas Islam, Nasrani hidup dengan damai. Ini patut kita syukuri. Sesuatu yang menggembirakan dan menyenangkan. Kita damaikan hati kita sendiri, setelah itu seluruh dunia akan ikut berdamai," kata Zainudin kepada Paul, seperti dilansir dari merdeka.com.
Dalam kunjungannya tersebut, Paul menyampaikan kekagumannya atas arsitektur masjid Jamik yang unik. Mengingat, masjid yang dibangun pada tahun 1890 tersebut menggabungkan gaya arsitektur Jawa dan Timur Tengah pada bangunannya. Tak hanya pada arsitektur masjid, Paul pun terpesona dengan kisah kerukunan umat beragamanya.
"Saya dengar berdekatan dengan gereja. Ini (toleransi) menjadi sesuatu yang penting untuk membangun masyarakat," kata Paul.
Paul mengungkapkan adanya banyak persamaan antara kondisi masyarakat Australia dan Indonesia, terutama tentang toleransi. Masyarakat Australia tidak banyak berbicara tentang perbedaan beragama.
"Australia memiliki masyarakat penganut agama yang berbeda-beda, dan itu persamaan Indonesia dengan negara kami," ujar Paul.
Terkadang memang masih terdengar adanya kesulitan sebagian orang untuk bersikap tolerasi. Tetapi, rata-rata ingin menjalankan kehidupan bertoleransi. Muslim di Australia, kata Paul, sudah menjadi bagian penting. Bahkan lahir, besar dan ambil peran dalam pembangunan Negeri Kanguru tersebut.
Islam berdasarkan catatan, mulai masuk Australia sekitar tahun 1860-an dan masjid tertua dibangun tahun 1865. Hingga saat ini, jumlah masjid di Australia sebanyak 175 masjid dan terus bertambah. Australia juga telah memiliki undang-undang beragama sehingga tidak menghalangi perempuan berjilbab menjadi tentara.
"Peraturan tentang agama sudah ada sejak beberapa tahun lalu. Orang perempuan Australia diperbolehkan menjadi tentara memakai jilbab," katanya.
Paul mengungkapkan, berbeda bukan berarti tidak bisa hidup bersama-sama. Karena kebersamaan merupakan sebuah kekuatan. Sehingga keanekaragaman dan perbedaan itu harus terus dikampanyekan.