1. MALANG
  2. GAYA HIDUP

Tekankan olah rasa, SMAK Dempo gelar "Ketulusan Cinta Sang Dewi"

Tak hanya kemampuan akademik, SMAK Dempo tekankan pembelajaran seni budaya pada siswa, sebagai wujud olah rasa.

Siti Rutmawati. ©2016 Merdeka.com Reporter : Siti Rutmawati | Kamis, 22 Desember 2016 13:27

Merdeka.com, Malang - Bertepatan dengan hari pembagian rapor siswa, SMA Katolik Santa Albertus atau lebih dikenal dengan SMAK Dempo menggelar Festival Seni Budaya, Rabu (21/12). Bertajuk "Ketulusan Sang Dewi", festival tersebut menampilkan kebolehan siswa-siswi SMAK Dempo dalam berkarya, terutama di bidang seni. Uniknya, para guru pun tak mau kalah, dengan turut unjuk kebolehan seni dalam festival tersebut.

Karye Seni Rupa Siswa dalam Festival Seni Budaya Dempo 2016
© 2016 merdeka.com/Siti Rutmawati

Kepala sekolah SMAK Dempo, Bruder Antonius Sumardi menjelaskan, kegiatan festival seni-budaya tersebut merupakan bagian dari pelajaran seni budaya yang diminati oleh siswa. Semenjak semester kedua tahun akademik 2013/2014, SMAK Dempo mulai menampilkan karya seni siswa-siswinya, yang dirangkum dalam sebuah festival budaya. Bruder Mardi -sapaan akrab Bruder Antonius Sumardi- menyebutkan, selain bidang akademik, SMAK Dempo menekankan pembelajaran seni budaya kepada siswa sebagai sebuah bentuk olah rasa.

"Bagi saya itu olah rasa, orang kalo hanya pandai secara intelektual tetapi hatinya tidak pernah diasah itu tidak mungkin. Rasa perasaan tersebut menjadi penting, manakala orang harus mensingkronkan antara pikiran dan hati. Itu bisa terjadi, saat seni bisa memfasilitasi," tutur Bruder Mardi.

Bruder Mardi saat Festival Seni Budaya Dempo 2016
© 2016 merdeka.com/Siti Rutmawati

Pandangan tersebut tercermin pada tajuk yang diangkat pada festival budaya SMAK Dempo kali ini. Tema "Ketulusan Sang Dewi" diangkat sebagai bentuk penyampaian ide tentang cinta yang menyatukan berbagai keberagaman. Sekitar 50 persen siswa SMAK Dempo, kata Bruder Mardi, berasal dari wilayah luar pulau Jawa. Bruder Mardi mencontohkan, makna tersebut tersirat dalam drama Andhe-Andhe Lumut yang ditampilkan dalam festival tersebut.

" Mengingat 50 persen anak Dempo itu dari luar Malang, luar pulau Jawa. Maka, cerita Andhe-Andhe Lumut kan sebenarnya, kalo tidak diterjemahkan dalam bahasa yang universal, mereka tidak mengerti. Maka, ini salah satu usaha yang dipakai untuk memaknai pemaknaan universal. Cinta kan milik semuanya, tanpa adanya 'dari mana mereka'," jelas Bruder Mardi.

Tari Gambyong Pareanom dalam Festival Seni Budaya Dempo 2016
© 2016 merdeka.com/Siti Rutmawati

Menengok penampilan seni budaya dalam festival tersebut, berbagai karya seni siswa dan guru SMAK Dempo pun ditampilkan. Para tamu yang hadir, sebagaian besar terdiri dari orang tua siswa, para guru dan karyawan SMAK Dempo. Selain drama Andhe-Andhe Lumut, penampilan tari persembahan para guru pun menjadi primadona dalam festival tersebut. Riuh suara siswa dan para penonton mengiringi jalannya penampilan tari Gambyong Pareanom yang dibawakan oleh kelompok guru SMAK Albertus.

Guru seni tari SMAK Dempo, Apriliani Iswati menceritakan, tari Gambyong Pareanom merupakan tarian tradisional yang berasal dari Jawa Tengah. Tarian ini merupakan sebuah tari kerakyatan yang kemudian diangkat menjadi tarian tradional Keraton.

"Tari Gambyong itu macam-macam, ada tari Gambyong Pareanom, Gambyong Pangkur. Tapi, tadi kita membawakan Gambyong Parianom," tandas Apriliani.

PILIHAN EDITOR

(SR)
  1. Event
  2. Pertunjukkan
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA