Simbol Naga yang terapat di Kelenteng Eng An Kiong ternyata tak sembarangan. Ini makna yang terkandung di dalamnya!
Merdeka.com, Malang - Berdiri sejak tahun 1825, kelenteng Eng An Kiong menjadi salah satu jejak paling tua masyarakat Tionghoa di kota Malang. Menurut cerita, kelenteng ini dibangun atas prakarsa Liutenant Kwe Sam Hway. Pembangunan kelenteng Eng An Kiong dilakukan dalam dua periode. Pertama yaitu pembangunan ruangan tengah dan ruangan induk pada 1825. Kemudian menyusul pembangunan bangunan lain di sekitarnya pada tahun 1895 dan 1934.
Memasuki bangunan Kelenteng Eng An Kiong, dinding bangunan terlihat penuh dengan simbol dan pahatan kisah-kisah perjalanan spiritual. Di setiap altar, berbagai persembahan untuk dewa pun tertata rapi di atas sebuah meja yang menghadap kepada patung dewa. Tak lupa, damar beserta lilin yang selalu menyala mendampingi sesajian di atas meja tersebut. Tercium pula wangi dupa yang dibakar memenuhi seisi ruangan di masing-masing altar dewa.
Humas Kelenteng Eng An Kiong, Anton Priyono menjelaskan, kelenteng ini merupakan rumah ibadah yang menaungi tiga agama yang berbeda, yakni Budha Mahayana, Tao, dan Konghucu. Peribadahan masing-masing agama terpisah di ruangan masing-masing dengan posisi mengelilingi bangunan kelenteng.
"Di Kelenteng ini ada tiga agama yang bernaung di bawah satu atap. Meski begitu, sistem ibadahnya berbeda. Kitab sucinya berbeda, nabinya pun (pen: penyebar agama) berbeda. Ini (Budha Mahayana) nabinya Sidharta Gautama dengan Kwan Im, ini (Tao) nabinya Lao Tzu, ini (Konghucu) nabinya Konghucu," jelas Bunsu Anton, sapaan akrab Anton Triyono, saat ditemui merdeka.com di Kelenteng Eng An Kiong.
Menoleh pada denah bangunan, Kelenteng Eng An Kiong terdiri dari ruang utama, ruang induk, ruang bagian kiri, ruang bagian kanan, dan ruang belakang. Ruang utama merupakan ruang Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan ruang induk merupakan altar Kongco Hok Tik Cing Sien, atau lebih dikenal sebagai Dewa Bumi.
Ruang kiri merupakan area peribadatan agama Tao, terdiri dari altar Tri Ratna Budha, altar Tay Siang Lo Kun, dan altar Sing Ho Ya. Ruang belakang merupakan area peribadatan agama Budha, terdiri dari altar Kwan Si In Pauw Sat, altar Wie Tho Pauw Sat, altar aneka Kim Sien. Sedangkan, ruang kanan terdiri dari altar Tay Sing Ci Sing Sian Su Khong Hu Cu, altar Kong Tik Cun Ong, altar Jai Sin Ya, dan altar Tae Cong Ong Po Sat.
Berbicara soal altar, hampir di setiap ruangan tersebut terdapat sebuah cawan dupa berhias ornamen naga di sisi kiri dan kanan. Menyorot lebih dalam, peletakan cawan dupa dengan ornamen naga ini ternyata tak sembarangan.
Naga merupakan makhluk mitos yang diyakini dengan cara yang berbeda di berbagai belahan dunia. Belum ada sebuah kepastian terkait kemunculan makhluk mitos ini. Namun, Naga telah dikenal oleh masyarakat, bahkan sejak 5000 tahun silam, khususnya di Cina.
Bagi masyarakat China, Naga merupakan salah satu dari empat makhluk spiritual yang mendapatkan penghormatan tertinggi. Empat makhluk tersebut yakni Phoenix, Qilin, Naga, dan Kura-Kura. Namun, diantara keempat tersebut, naga adalah makhluk yang dianggap paling perkasa.
"Naga itu makna simboliknya keperkasaan. Jadi kita mengharapkan agar kelenteng ini menjadi perkasa," tutur Bunsu Anton.
Pada masa-masa kerajaan Cina, hanya Kaisar yang boleh mengenakan pakaian dengan simbol naga. Simbol kekuasaan Kaisar terletak pada lambang naga yang melekat pada pakaian yang dikenakannya tersebut. Simbol yang digunakan kaisar berupa naga dengan lima cakar, yang menunjukkan kekuasaan sang Kaisar.
"Jika anda sering melihat film silat, dan disana ada orang yang berbusana Naga, maka dia adalah raja. Gambar Naga itu hanya boleh dipakai oleh raja," tandas Bunsu Anton.