Juru kampanye ProFauna menganggap penanganan hukum bagi pelaku perdagangan satwa liar masih mengecewakan.
Merdeka.com, Malang - Perdagangan satwa liar di Indonesia saat ini merupakan hal yang cukup membuat cemas. Dilansir dari Merdeka.com, angka perdagangan satwa liar dilindungi di Indonesia masih tergolong sangat tinggi. Namun hukum belum bisa membikin jera para pelaku lantaran ganjarannya dianggap tergolong ringan.
Lembaga nirlaba Protection of Forest and Fauna (ProFauna) Indonesia mencatat, adanya peningkatan kasus perdagangan satwa liar dilindungi. Mulai Januari hingga Mei 2016, telah ditemukan 52 kasus tindak pidana perdagangan satwa dilindungi. Menurut juru kampanye ProFauna Indonesia, Dwi Derma S, kasus perdagangan satwa dilindungi didominasi oleh penjualan primata jenis kukang dan lutung, kemudian disusul jenis burung dan penyu.
"Sepanjang 2015 hingga saat ini, ProFauna mencatat terdapat sedikitnya 120 kasus perdagangan satwa liar yang ditangani oleh pihak berwajib. Namun tidak sampai sepuluh persen dari kasus tersebut yang diproses hingga vonis," kata Derma, Minggu (5/6).
Indonesia sendiri mengalami kerugian hingga Rp 9 triliun terkait perdagangan satwa liar ini akibat lemahnya penegakan hukum. Bea Cukai Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada Maret 2016 hingga Mei 2016, menggagalkan enam kali upaya penyelundupan satwa liar dari dan ke luar negeri, dengan nilai total sekitar Rp 21 miliar.
Sepanjang 2015 hingga mendekati pertengahan 2016, penegakan hukum terkait kejahatan satwa liar di Indonesia masih cukup mengecewakan. Berdasar catatan ProFauna, hanya ada sembilan vonis dijatuhkan kepada pelaku perdagangan satwa liar sejak Januari 2015 hingga Mei 2016.
Dari segi kualitas, hukuman yang dijatuhkan bagi pelaku juga mengecewakan. Dari sembilan vonis pengadilan, hukuman paling tinggi hanya 2,5 tahun penjara dan denda Rp 80 juta. Hukuman dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Pekanbaru, Riau, kepada dua anggota sindikat perdagangan Orang utan Sumatera, pada 22 Maret 2016.
"Ini termasuk hukuman terberat yang pernah dijatuhkan pada terdakwa perdagangan satwa liar," ujar Derma.
Vonis itu bahkan hanya setengah dari hukuman penjara maksimal, yakni lima tahun penjara, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Derma menyatakan, hukuman denda juga tidak pernah dijatuhkan secara maksimal, yaitu Rp 100 juta. Padahal, omzet para pedagang satwa liar bisa mencapai ratusan juta rupiah dalam sekali transaksi.
ProFauna mendesak pemerintah memperkuat penegakan hukum terkait kejahatan satwa liar. Dia juga meminta Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 direvisi, buat memperberat hukuman pagi pelaku. Untuk membuat hal ini dapat terlaksana, pola pikir penegak hukum, terutama jaksa dan hakim harus diubah. Penegak hukum harus memahami bahwa kejahatan perdagangan satwa liar merupakan isu global yang serius, sehingga pelakunya harus dihukum berat.
Berdasar data PBB dan Interpol, Derma mengatakan bahwa perdagangan satwa liar di seluruh dunia mencapai USD 15-20 miliar. Perdagangan satwa liar nilai dan tingkat bahayanya sejajar dengan perdagangan narkotika, senjata api ilegal, dan manusia.
"Ini menjadi momen saatnya kita berhenti mentolerir segala bentuk praktik perdagangan satwa liar. Semua kerja keras aparat dan aktivis pemerhati satwa liar di lapangan akan menjadi sia-sia, jika di meja hijau para pelaku selalu divonis rendah," tandasnya.