1. MALANG
  2. KOMUNITAS

PFM: Saat kebutuhan seksual tertunda menjadi sebuah 'Kremi'

Kremi, sebuah film pendek yang mengangkat permasalahan dalam masyarakat yang selama ini terlihat remeh-temeh, namun cukup pelik untuk dipecahkan.

©2017 Merdeka.com Reporter : Siti Rutmawati | Sabtu, 04 Maret 2017 21:09

Merdeka.com, Malang - Keberadaan ruang pemutaran film alternatif setidaknya memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengenal lebih dekat tentang film yang tak melulu bioskop. Meskipun belum begitu populer di Malang, namun beberapa penggerak film telah memulai giatnya untuk menghadirkan film alternatif tersebut di tengah-tengah masyarakat.

Memeriahkan Bulan Film selama Maret ini, Parade Film Malang berusaha menghadirkan ruang pemutaran alternatif tersebut. Menggandeng Gambaroba, Parade Film Malang menggelar aksi pertamanya dengan memutarkan dua film alternatif bertema "Toleransi". Sebut saja Sepanjang Jalan Satu Arah (2016) karya Bani Nasution (Solo) dan Seeing Jesus in Javanese Face (2014) karya Antonius Janu (Jogjakarta).

Tak berhenti di disitu, PFM kembali menggelar pemutaran film alternatif dengan menggandeng Malabar Project dan Asrama Hasanuddin. Bertempat di Asrama Hasanuddin, PFM menggelar diskusi film bertema "Pendidikan", Kamis (2/3) lalu. Pemutaran tersebut sangat terbuka untuk umum dan tanpa menarik biaya apapun alias gratis.

Tepat pada hari ke-3 di bulan Maret, PFM kembali menghadirkan pemutaran film alternatif. Kali ini, PFM memutarkan dua film pendek karya sineas asal Malang, Mahesa Desaga. Menggandeng kafe Legipait, PFM memutarkan Jumprit Singit dan Kremi, dua film pendek karya Mahesa yang berhasil nangkring di beberapa Festival Film, baik di dalam negeri maupun luar negeri.

Kremi, merupakan sebuah film pendek bercerita tentang sebuah permasalahan yang nampak remeh-temeh, namun cukup pelik untuk diatasi. Tergambar dalam film, kehidupan sebuah keluarga sederhana, sepasang suami istri dengan anak tunggalnya. Beberapa adegan bahkan mampu membangkitkan gelak tawa para penonton yang hadir.

Sang Ayah, yang bekerja sebagai seorang truk sebenarnya memiliki kehidupan yang lurus-lurus saja, tak suka "jajan" di luar layaknya teman-temannya yang lain. Sang Ayah sabar menunggu untuk sampai di rumah, dan menyalurkan hasratnya pada sang istri.

Sayangnya, kesempatan untuk menggauli sang istri tak semudah yang dibayangkan, lantaran pasangan suami istri tersebut tidur dalam kamar yang sama dengan anak tunggal mereka. Beberapa kesempatan telah dicoba, namun hal tersebut ternyata cukup sulit untuk dilakukan.

Parade Film Malang: Mahesa saat diskusi soal Film
© 2017 merdeka.com/Siti Rutmawati

Kremi, memang menampilkan sebuah sisi lain dari kehidupan masyarakat Indonesia yang tak begitu banyak diperhatikan. Sang sutradara, Mahesa mengungkapkan, Kremi sendiri bercerita tentang masyarakat yang jika dikelaskan, berasal dari kelas ekonomi bawah. Namun, kata Mahesa, hal tersebut (Pen: kelas ekonomi) ternyata tidak dijadikan sebagai sebuah permasalahan.

"Karena permasalahan bisa apa saja, misalkan seperti hubungan sejhari-hari, kebutuhan yang terlihat remeh, tapi penting banget. Terkait tentang penyaluran kebutuhan biologis, kalo tidak tersalurkan bisa bikin pusing juga," kata Mahesa.

Usai pemutaran film, Mahesa dan penonton yang hadir terlibat dalam sebuah diskusi singkat. Beberapa penonton terlihat antusian melemparkan pertanyaan seputar film yang diputarkan, baik Jumprit Singit maupun Kremi.

Iwan Tantomi, salah satu penonton yang hadir dengan segera melemparkan pertanyaan sesaat setelah sang moderator, Dwi Ratna mempersilakan. Tomi menyampaikan keingintahuannya terkait ide yang melatarbelakangi pembuatan film Kremi.

Menanggapi hal tersebut, Mahesa mengisahkan bahwa ide tersebut muncul begitu saja saat ia melihat pasangan yang hidup di sebuah rumah kecil dengan anak-anak mereka. seketika, dalam benaknya ia bertanya, bagaimana pasangan suami-istri tersebut melakukan hubungan badan saat rumah juga ramai dengan kehadiran anak-anak mereka.

Tak hanya Iwan, beberapa pertanyaan juga muncul dari rasa penasaran penonton yang lain. Pertanyaan tak hanya seputar isi film, melainkan juga tentang proses produksi, biaya pembuatan film, tantangan, hingga jalan yang ditempuh Mahesa sampai akhirnya berhasil nangkring di berbagai Festival Film.

PILIHAN EDITOR

(SR)
  1. Malang Kreatif
  2. Film
  3. Parade Film Malang 2017
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA